Makalah ini di persentasikan oleh;
Sri Puji Astutik
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Syari'ah
Institut
agama Islam Nurul Jadid
SISITEMATIKA FILSAFAT AKSIOLOGI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed
Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia
netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan
filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.
Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas
nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu
pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang islami,
maka ilmu tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak islami.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak
terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan
yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara
ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini
adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis
dan universal.
Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai
upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni mempokuskan
diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan
berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan
jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang
menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan
batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta
alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia
dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni;
apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan
bagaimana nilai pengetahuan itu.
Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu
pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa
yang dikandung dalam ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi,
pertimbangan nilai, serta hal lain yang terkait dengannya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang sebelumnya maka
masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana konsep ilmu dan
pertimbangan nilai perspektif filsafat, dan agar kajiannya terarah dan
sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub masalah, yakni :
1.
Bagaimana tinjauan
tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?
2.
Bagaimana aksiologi
dalam pandangan aliran-aliran filsafat ?
3.
Bagaimana sumbangan
aksiologi terhadap ilmu pengetahuan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aksiologi
Memberikan suatu pemuasan kebutuhan
yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau
yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang
bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa
bertambah.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari
kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai
merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama.
Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu
bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Richard Bender :
Suatu nilai adalah Menurut sebuah pengalaman yang
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.
Secara historis, istilah yang lebih
umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini,
istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog
filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori
nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good
and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan
(means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk
perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang
baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang
moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau
“sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis
tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal
dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata
“logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai.
B. Tinjauan tentang
Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)
Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم)
mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk yang berantonim
dari makna naqid al-jahl (tidak tahu).
Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara
praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.
Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang
pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John Ziman menyatakan
bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu.
Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang
harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu.
Selanjutnya menurut Al-Qadhi ‘Abd. al-Jabbar bahwa
العلم يقتضى
سكون العالم الى ماتناوله
“ilmu adalah suatu makna yang dapat
menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah dicapainya”
Pengertian ini mengindikasikan adanya
ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun
demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang
bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangan Imam al-Gazali bahwa
العلم هو حصول
المثال فى القلب
“ilmu itu adalah tejadinya
gambaran di dalam hati”
Pengertian ini mengindikasikan bahwa
gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di
sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah
bagian dariبصيرة yang di dalamnya
tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke
dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية yaitu akal dan hati, hakikat atau
esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia
dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang
sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat
digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.
Pengertian ini megindikasikan bahwa
ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari
hasil analisis-analisis secara konprehensif.Dari beberapa pengertian ilmu yang
telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada
hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu
pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish Madjid
salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu
netral. Lebih lanjutnya menurutnya bahwa,Ilmu pengetahuan baik yang alamiah
maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas
nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh
manusia yang memiliki dan menguasainya.
Apa yang dikemukakan Nurcholish
Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi.
Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang
berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara
istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang
ditinjau dari sudut kefilsafatan
Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan
bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari
nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi
adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika.
Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa
aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai
tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam
kepribadian peserta didik.
Dengan demikian aksiologi adalah
salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau
norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat
kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan
curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan
perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai
macam-macam makna seperti
1.
Mengandung nilai,
artinya berguna;
2.
Merupakan nilai,
artinya baik atau benar, atau indah;
3.
Mempunyai nilai
artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan
orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu;
4.
Memberi nilai
artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu.
Nilai ini terkait juga dengan etika
dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang
menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai
estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan
manusia terhadapnya.Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia
menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab
pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan
pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun
tanggungjawab moral.Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan
melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan
metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik
secara korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara
pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak
dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dna hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah
diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu
pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata
yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan
selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan
umat manusia.
C. Persoalan Pokok Dalam Aksiologi
Persoalan pokok aksiologi mencakup
tentang nilai subjektif dan nilai objektif, metode memperoleh nilai, dan wujud
nilai. Ada dua pertanyaan mendasar tentag nilai yaitu apakah sesuatu itu
bernilai karena diinginkan oleh subjek atau subjek yang menginginkannya karena
sesuatu hal itu sendiri mengandung nilai.
Landasan aksiologi dari ilmu pengetahua adalah
analisis tentang penerapan hasil-hail temuan ilmu pengetahuan. Penerapan ilmu
pengetahuan dimaksudkan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan
keluhuran hidup manusia.
Contohnya dalam ilmu keperawatan:
Hampir semua penyakit dan ilmu dapat
dipelajari oleh kita. Semua itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat
pondasi dalam sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia)
mulanya berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk
memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan
atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge
dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.
C.
Aksiologi
dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat
dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh
masing-masing aliran filsafat, yakni :
1.
Pandangan Aksiologi
Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah
William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger
Santayana, dan Jhon Dewey.
Menurut progressivisme, nilai timbul karena
manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat
dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari
dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam
hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan
sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan
antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik
maupun kebudayaan atau manusia.
2.
Pandangan Aksiologi
Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran
ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592-
1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),
John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan
William T. Horris (1835-1909).
Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari
pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina
dari dua pandangan tersebut.
a.
Teori nilai menurut
idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika
adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak
berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap,
tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas
baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau
peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan
teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba
kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat
menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
b.
Teori nilai menurut
realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan
manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa
baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya.
Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis
dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan
idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu
tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan
pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
3.
Pandangan Aksiologi
Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya
Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan
sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai
sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral,
intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain.
Sedangkan menyangkut nilai aliran ini
memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima
universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan
epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga
aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan
yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam
perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima
universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia
terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan
hakikat perbuatan-perbuatannya.
4.
Pandangan Aksiologi
Rekonslruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang
berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam
memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan
manusia yang memerlukan kerja sama.
5.
Sumbangan Aksiologi
Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang diperoleh
merupakan sumber daya manusia. SDM ini merupakan derap langkah pembangunan
selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu
memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat
diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis, perolehan ilmu pengetahuan
selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi itu demikian
luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri,
kedua karena usaha manusia harus mengantisipasi hari depan yang tidak segenap
seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.
Telah dikemukakan pada bagian
pendahuluan bahwa ilmu bebas nilai, dan hal tersebut menyebabkan banyak
penilaian terhadap ilmu pengetahuan. Dalam pemamaham seperti maka keberadaan
aksiologi memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Berkaitan
dengan itulah, sumbangan aksiologi sebagaimana dalam berbagai aliran filsafat
terhadap ilmu pengetahuan dapat dikemukakan sebagai beriku:
1.
Aliran filsafat
progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu karena telah
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh
karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap
pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang
berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan
dinamis untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Oleh karena itu
sekolah harus mengupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau
daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing
(sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer
of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer
of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.
2.
Aliran essensialisme
berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang
telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita
telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan
modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai
yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai
proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian
bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju
makrokosmos.
3.
Aliran perenialisme
berpandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pandangan
tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato
manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran.
Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada
masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat
terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan
perolehan ilmu adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani,
emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.
4.
Aliran
rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru
melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui pendidikan. Perubahan ini
dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau
bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan
diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu
golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan
harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian
dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu
meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum
bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan
agama.
Dengan demikian implikasi dan
nilai-nilai (aksiologi) di ilmu pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh
dalam kehidupan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan
nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni
membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh
masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Konsekuensi dari segi aksiologi
adalah ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai,
aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam
perspektif Islam. Bentuk sumbangannya antara lain dapat dilihat dengan adanya
konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi Syed M. Naquib al-Attas yang
telah lama memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam di
Barat, menegaskan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah rusaknya ilmu
pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga mereka tidak bisa lagi
membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
Dari kajiannya yang sistematis, maka
tokoh ini menawarkan agar ilmu pengetahuan yang telah rusak itu, harus dibenahi
secara fundamental yang kemudian dia istilahkan dengan “Islamisasi Sains”
Terkait dengan itu, maka berikut ini
dikemukakan beberapa proposisi tentang kemungkinan islamisasi sains, yakni ;
1.
Dalam pandangan
Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan
mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam
dikelola sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat
bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan
misi yang emban dari Tuhan.
2.
Ilmu pengetahuan
adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di
sekitarnya. Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasilkan akan
diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang
diteliti.
3.
Dalam pandangan
Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan
empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci.
Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta,
sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
Dapatlah dipahami bahwa secara metodologis,
pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu
pengetahuan Islam. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan
pada weltans-chauung (pandangan dunia), mendudukkan weltanschau-ung pada
strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauung
Islami.
6.
Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu :
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu :
a.
Etika dan Pendidikan
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani)
yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam
bidang etika menyubutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti
kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis
tentang nilai, ilmu kesusilaan yang meuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan
moral pelaksanaannya dalam kehidupan.
Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan
tidak baik, etika merupakan
filsafat tentang perilaku manusia.
Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan Antara
ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa
dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk
menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan
keberanian moral.
Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek
tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk itulah kemudian ada
rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan
pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap
persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan
kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik
serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif.
Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan
sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu -berdasarkan pada pendekatan etik
moral- pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan
kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan
Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai
dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya
masing-masing.
b.
Estetika dan Pendidikan
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan
dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan
seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat
dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni :
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni :
a.
Seni sebagai
penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
b.
Seni sebagai
alat kesenangan.
c.
Seni sebagai
ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka
dapat disimpulkan hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan
sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai
(value free of sciences)” ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut
berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah
cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut
kefilsafatan.
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat
dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh
masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal
tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul
karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme
menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan
realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai
berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang
abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai
adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam
kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
Oleh karena ilmu bebas nilai, maka pentimbangan
nilai (aksiologi) memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sumbangan aksiologi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aliran filsafat yang
disebutkan di atas. Di samping itu, aksiologi ini juga memberikan sumbangan
terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Hal tersebut dapat dilihat
dengan adanya konsep islamisasi sains dewasa ini. Dengan demikian, secara
metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. Filsafat
Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset,
1990.
Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan
oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik
Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Ibn Faris Zakariyah, Abu Husayn Muhammad.
Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz III Cet. III; Mesir: Mushtafa al-Babi
al-Halabi wa Awladuh, 1971.
Indar, Djuberansyah. Filsafat
Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994.
Jalaluddin dan Abdullah Idi,
Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997.
Mudhafir, Ali. “Pengenalan Filsafat”
dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.
Sahabuddin. Filsafat Pendidikan
suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan
Wan Mohd. Nor Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan
oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik
Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003),
h. 317.
Harold H. Titus, et. al., The
Living Issues of Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan
Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 254.
Al-Qadhi ‘Abd. Jabbar, Al-Ma’na fi
Abwab al-Tawhid, jilid XII (Kiro: Muassasah al-Mi¡riyah al-Ammah li
al-Nasyr, 1972), h. 13.
hilosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar
Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar