Makrufi
Muhammad
PROGRAM PASCASARJA
INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL JADID
ISLAM KIRI
(Pemikiran Hasan Hanafi)
A.
PENDAHULUAN
Ketika mendengar kata
kiri, tentunya kita diingatkan akan
muncul lawan katanya yakni kanan. Kiri dan Kanan diberbagai lapangan kehidupan
merupakan kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Di arena politik misalnya, dua
kata itu selalu mengemuka menjadi dua kutub yang berseberangan. Di bidang ilmu
sosial maupun kehidupan keseharian, dua kata itu sering tampil sebagai dua
kekuatan yang berlawanan.
Ketika kata Kiri digabung dengan kata Islam,
menurut Hasan Hanafi adalah Islam ditinjau dari segi pemikirannya bukan dari
ajaran kemanusiaan-universalnya. Pemikian Hasan Hanafi tergolong multilintas
dan merupak ciri khas gagasannya. Begitu juga dari aspek pembelaan atas
pemikiran Islam yang dianggap terpinggirkan. Beliau tergolong pemikir
yang anti kemapanan, ia selalu berada digaris minoritas, kalau tidak tergolong
melawan arus.
Pemikirannya beranjak
dari ajaran yang paling mendasar dalam Islam yakni Tauhid. Menurutnya, hal
pertama dan utama yang dilakukan untuk membangun kembali peradaban Islam adalah
pembangunan kembali semangat Tauhid. Sebab Tauhid merupakan asal seluruh
pengetahuan. Menurutnya Islam bukan berarti tunduk atau menghamba, melainkan
lebih merupakan revolusi transendental terhadap struktur kesadaran individu,
tatanan sosial dan sejarah dinamis.
Corak pemikirannya
dianggap baru wacana kontemporer, walaupun Hasan Hanafi sendiri menggagas sudah
cukup lama . Sesuai dengan karyanya yang berjudul Kiri Islam diterbitkan
pertama kali melalui sebuah jurnal Islam dengan judul yang sama tahun 1981.1
Pemikirannya itulah
yang menjadi perbincangan banyak kalangan terpelajar. perdebatan yang
muncul ada yang mendukung dan tidak
sedikit yang mengkritik atau paling tidak menggugat keabsahan istilah yang
digunakan Hasan Hanafi yakni Kiri Islam sebagai suatu identifikasi kesahihan
Islam. Misalnya dalam pembahasan terminologi teologi, Asy’ariyah sebagai
Teologi ”Kanan” karena bertumpu pada kemapanan dan penindasan rasionalitas,
maka mu’tazilah adalah ”Kiri” karena berada pada jalur tertindas dan terkikis,
akibat menegakkan rasionalitas. Dalam syariat Islam (mazhab Fiqh) yang berupaya
membekukan hukum dan taklid merupakan model kemapanan sekaligus penindasan
ijtihad dianggap ”Kanan”, sementara kelompok tertindas yang menggeliat menuntut
hak serta memperjuangkan nasib kerakyatan dianggap kiri.
Upaya mengembangkan
pendekatan nilai modernisme ”Kiri” yang dimaksud Hasan Hanafi akan selalu
bercorak membawa kemajuan, program dan dinamis. Sementara ”Kanan” berarti
kejenuhan, kebekuhan dan apatis statis dengan persepsi ini Hasan Hanafi
berusaha menegakkan khasanah wawasan kajian Islam.
Sebagai solusi dari
kajian ”kiri Islam”, Hasan Hanafi ingin sekali mendobrak sekat-sekat parsial
dari semua aspek-aspek yang saling berkontradiksi dalam wacana-wacana itu,
sehinga Islam difahami dalam konteks Ilahiyah yang universal, satu dalam tauhid,
syariat dan amaliah Islam.
Pembahasan makalah
yang mengusung Islam Kanan Islam Kiri yang merupakan hasil fikiran Hasan Hanafi
ini, tidak akan membahas secara keseluruhan, akan tetapi hanya membahas sedikit
pemikiran Hasan Hanafi mengenai Islam Kiri saja. Karena pemikiran Hasan Hanafi
hanya membahas Islam kiri. Makalah ini disusun oleh Oleh: Yus Shofiatus Sholihah.
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi Hasan Hanafi
Hasan
Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir, pada tanggal 13 februari
1935.2 Keluarganya berasal dari propinsi Bani Swaif,
salah satu propinsi di Mesir Selatan, kemudian pindah ke Kairo. Kakeknya berasal dari al Maghribi (Maroko) dan neneknya
berasal dari kabilah Bani Mur. Gamal Abdul Nasser berasal dari kabilah itu.
Jadi Hasan Hanafi masih keluarga dengan Gamal Abdul Nasser.
Pada usia
sekitar Lima tahun, Hanafi mulai menghafal Alquran dibawah bimbingan Syaikh Sayyid.
Pendidikan dasarnya ditempuh di Madrasah Sulaiman Ghawish. Kemudian melanjutkan
ke sekolah pendidikan guru Al Mu’alimin, namun memasuki tahun terakhir ia ikut
kakaknya ke sekolah Silahdar di komplek Al-Hakim bi Amrillah. Disitu Hanafi
banyak mempelajari bahasa asing, Pendidikan menengah atasnya ditempuh Hanafi di
sekolah menengah Khalil Agha.3
Gelar
kesarjanaannya diraih di Universitas Kairo Fakultas Sastra jurusan Filsafat.
Setelah itu pergi ke Prancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sarbonne
dengan spesialis Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang lebih
sepuluh tahun tinggal di Prancis, yang merupakan negara tempat para orientalis
berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi pemikiran keilmuan Barat
dikuasainya.
Di Prancis
Hanafi sempat mengikuti kursus musik disalah satu sekolah tinggi musik di
Paris. Begitu seriusnya ia menekuni bidang itu sampai-sampai ia pernah
bercerita menjadi musisi dan komponis dunia. Pagi hari ia kursus musik,
siangnya kuliah dan sore hari ia gunakan untuk membaca atau mencipta suatu simponi
musik. Dengan kesibukannya itu, setelah
dua tahun ia terserang penyakit TBC akibat kelelahan. Dokter menyarankan untuk
menentukan pilihan antara musik dan filsafat. Hanafi akhirnya memilih filsafat.
Hasan
Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai sur la methode d’Exegese (Esei
Tentang Metode Penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh
penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.4 Karya yang sangat tebal tersebut
merupakan usaha Hasan Hanafi dalam menghadapkan ilmu filsafat hukum Islam
kepada filsafat yang modern.
Penghargaan internasionalnya sebagai pemikir ternama,
menjadikan Hasan Hanafi memperoleh beberapa jabatan guru besar luar biasa di
berbagai perguruan tinggi di luar Mesir. Seperti di perancis menjadi profesor tamu (1969), mengajar
di Belgia (1970), Amerika Serikat
(1971), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat
Arab (1985).
Setelah kembali ke Mesir, ia membawa agenda besar
yang diberi nama Al Turats wa al-Tajdid. Selain itu sambil mengajar di Fakultas Sastra jurusan Filsafat
Universitas Kairo, doktor muda itu meleburkan diri kedalam proses
pemikiran-pemikiran Pan-Arabik secara langsung. Akan tetapi awalnya
kajian-kajiannya bersifat ilmiah murni
tidak bermuatan ideologis.5 tapi
pada akhhirnya ia berbicara tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan
wawasan kehidupan dengan dimensi pembebasan
2.
Pengertian Islam Kiri
Istilah Kanan dan Kiri
diambil dari konteks struktur sosial, dimana terdapat dua kelas sosial yang
saling berlawanan. Kelas “Kanan” yakni kelas elit yang menguasai sarana produksi dan
perangkat kekuasaan politik, berupaya mengeksploitasi kelas lain yang
mayoritas. Salah satu cara eksploitasi itu adalah lewat pemikiran keagamaan
yaitu dengan menafsirkan agama sejalan dengan kepentingan kelas elit minoritas.
Sedangkan kelas “Kiri” adalah kelas bawah, miskin, lemah, tertindas, menderita, orang-orang
yang tidak diperhitungkan, kelompok yang termarjinalkan. Kiri Islam lahir untuk
menyuarakan jeritan dan kepentingan serta hak-hak mereka yang secara kuantitas
adalah mayoritas umat. Kiri Islam tampil untuk membela kepentingan umat yang
mayoritas, untuk mengambil hak-hak kaum miskin dari kaum kaya, membela kaum
lemah dalam menghadapi kaum kuat serta menjadikan umat mansusia sejajar.
Pembahasan Islam Kiri
atau Kiri Islam, menurut Hasan Hanafi tidak terletak pada ajaran
kemanusiaan-universal tetapi mengenai pemikiran Islam berikut produk-produknya,
termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut turats dalam perilaku umat
Islam, penguasa, rakyat dan kaum intelektualnya-sepanjang sejarah mereka.
Kiri Islam bertopang
pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam dan
kesatuan umat. Pertama, khazanah Islam klasik. Kedua, perlunya
menantang peradaban Barat. Ketiga, analisis terhadap realitas dunia Islam. Pada analisis Hanafi mengkritik metode tradisional yang
bertumpu pada teks(nash) dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas
dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri.
3.
Pendekatan Sosialisme
Pendekatan yang digunakan
oleh Hasan Hanafi dalam memunculkan Islam Kiri memakai pendekatan Sosialisme.
Sosialisme berarti teori politik dan ekonomi yang menganjurkan hak milik umum
serta manajeman alat-alat pokok untuk produksi , distribusi dan pertukaran
dagang6 Columbia
Elektronik Enciclopedia, menyebutkan bahwa sosialisme adalah sebuah istilah
umum teori politik dan ekonomi ang membina sebuah sistem kepemilikan bersama
atau pemerintah, dalam pengurusan alat-alat produksi dan pengoprasian barang7.
Dalam pengertian yang
lebih luas, sosialisme sering digunakan untuk menggambarkan secara lepas
teori-teori ekonomi, mulai dari teori yang mengatakan bahwa hanya hal-hal yang
bersangkutan dengan kepentingan umum dan sumber daya alam yang harus dikuasai
negara sampai dengan teori yang menyebutkan bahwa negara harus bertanggung
jawab kepada semua permasalah ekonomi8
Awal sosialisme
merupakan derivasi (asal mula) dari filsafat Plato, ajaran nabi-nabi
Yahudi dan beberapa ajaran dari kitab Perjanjian Baru, namun ideologi
sosialis modern secara
esensia merupakan produk gabungan dari peristiwa Revolusi Prancis 1789 an
Revolusi Industri di Inggris. Sedangkan istilah sosialis sendiri pertama kali
muncul dalam sebuah jurnal Inggris pada tahun 1827 (awal abad 19).
Revolusi Prancis dan
Revolusi Industri di Ingris ini memicu berdirinya pmerintahan demokratik
Prancis dan ekspansi ekoomi besar-besaran di Inggris serta memunculkan
terjadinya konflik antara golongan masyarakat pemilik modal dan tumbuh
kembangnya kelas pekerja industri. Sejak saat itu kaum sosialis berusaha untuk
memperjuangkan eliminasi (peniadaan) yang ada atau paling tidak menengahi
konflik yang terjadi.
Pemikir pertama yang
mungkin dapat dijuluki sosialis adalah Francois Noel Babeuf. Karena gerakan
sosialis yang pertama kali muncul di Prancis setelah revolusi adalah gerakan
yang dipimpin oleh Francois Babeuf, Filippo Buonarrotti dan Louis Aunguste Blanqui.
Mereka meyakini akan kemunkinan perdamaian dan transformasi gradual menuju
sebuah masyarakat sosialis dengan mendirikan komunitas eksperimental, akan
tetapi kemidian para pemikir sosialis berikutnya menyebutkan dengan labe1 utopia9.
Setelah Francius
Babeuf ini ternyata lebih moderat, dalam arti tidak terlalu mengetengahkan
pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi lebih mengetengahkan
kerjasama. Charles Fourier dan Robert Owen lebih percaya bahwa kmunitas
kolektif kecil yang harus banyak berperan, karena itu kemudian muncul perkampungan
komunitas dibeberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat, seperti: New Harmoni
(Indiana) dan Brook Farm.
Sosialisme memiliki
dua corak yang berbeda, yaitu sosialisme ilmiah dan sosialisme relegius. Sosialisme
ilmiah tidak berdasarkan harapan dan tuntutan belaka, melainkan analaisis
ilmiah erhadap hukum perkembangan masyarakat. Sedangkan sosialis relegius
muncul sebagai sintesis atas kelemahan-kelemahan yang diakibatkan sebagai
sistem kapitalis dan sistem sosialis Marxis. Yang ini juga disebut sebagai
sosialisme Islam.
Para Tokoh Sosialisme
Banyak
orang yang mempunyai keinginan untuk menjadikan dunia lebih baik. Sebagian
orang mengatakan sebagai kaum sosialis. Orang-orang seperti disepanjang sejarah
selalu ada, seperti Musa, Yesus, Plato, Maimonedes dan lainnya11.
Sedangkan
actor utam yang mempelopori ajaran sosialisme adalah Karl Marx (1818-1883).
Menurutnya bahwa sosialisme, peghapusan hak milik pribadi, bukan sekedar
tuntutan etis melainkan keniscayaan obyektif. Mark mengklaim bahwa ia menemukan
hukum yang mengatur perkembangan masyarakat dan sejarah. Hukum itu adalah
prioritas bidang ekonomi. Karena itu Marx menyebut anggapannya pandangan
sejarah yang materialistik12.
Pemikir
sosialis Barat lainnya adalah Comte de Saint-Simon, Charles Fourier dan Ftienne
Cabet. Mark dengan Weber merupakan tokoh terkenal dan sejalan dalam diskusi
mengenai apapun, akan tetapi bila menyangkut masalah metodologi dan filosofi
ilmu pengetahuan mereka mengalami perbedaan, dan perbedaan tersebu begitu
menyolok sehingga tidak memungkinkan mendamaikan pemikiran dialektis Mark
dengan sosiologi interpretatif Weber.13
Pendekatan
sosialisme perhatiannya mengarah pada interaksi antara agama dan masyarakat.
Akan tetapi untuk pendekatan agama ada sendiri. Teoritisasi sosiologi,
menggunakan paradigma dan konseptualisasi analogis tentang dunia sosial yang
didasarkan pada tradisi sosiologis maupun refleksi atas data empiris. Data
empiris diperoleh melalui investigasi historis dan penelitian sosial
kontemporer.
4.
Tauhid
Sewaktu Islam
dipancangkan sebagai agama yang mengatur aspek spiritual, sebagaimana
agama-agama lain, Tauhid sering dipahami sebagai “Keesaan Tuhan”. Oleh karena
itu jalan terbaik untuk memahami Tauhid adalah dengan mengartikannya sebagai
”penyatuan”. Ketika gagasan ini dikembalikan pada bidang ketuhanan maka akan
berarti ”mengesakan hanya pada satu tuhan”.14 Sebagaimana
diketahui bersama, Islam mencakup bidang-bidang keduniawian, mental sekaligus
ketuhanan. Dengan demikian bagaimana
tauhid berfungsi dalam pemikiran muslim dalam lembaga-lembaga sosial politik
Islam dan dalam peradaban.
Dalam
tauhid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah Esa.
Ia menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kelas,
garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Menempatkan manusia dalam kesamaan. Jadi
jelaslah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan
kedalam jaringan relasional Islam. Jaringan ini pandangan dunia tauhid yang
mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual, material, sosial dan
individual. Dalam hal ini Hasan Hanafi menguji jaringan relasional Islam
melalui ibadah (rukun Islam).
1.
Syahadat adalah persaksian
seorang muslim. Mereka bersaksi “Tidak ada Tuhan melainkan Allah, Tuhan Yang
Esa dan Muhammad adalah utusan Allah”. Pada penggalan pertama politeisme diingkari. Muslim
menyatakan tauhid merupakan jaringan relasional Islam. Penggalan kedua, muslim
mengakui Al-quran diturunkan kepada manusia melalui perantara Muhammad. Ini
merupakan bentuk jaringan relasional Islam.
2.
Shalat.
Adalah dialog spiritual langsung seorang muslim kepada Tuhan, hal ini tidak
hanya aspek spiritual saja tapi ada gerakan yang menuju olah fisik, menghadap
kiblat dan tepat waktu berarti melatih solidaritas, wudhu dan ghusl menyangkut
kebersihan badan dan konstruksi masjid yang mencakup aspek sosial.
3.
Puasa.
Tidak hanya aspek mentalitas saja, tapi cara puasa merupakan pelatihan
solidaritas sosial (merasakan penderitaan orang yang kelaparan). Puasa dikerjakan pada bulan Rhamadhan secara
serentak oleh umat Islam menunjukkan gerakan sosial dan wujud persatuan bagi umat Islam.
4.
Zakat,
dilihat secara vertikal merupakan aspek spiritual dan zakat yang merupakan shadaqah
untuk kaum fakir, miskin, gharim, sabilillah merupakan aspek sosial dan ketika sudah eksis di masyarakat
berkembang menjadi aspek ekonomi.
5.
Haji.
Ibadah haji merupakan suatu ibadah yang dilaksanakan dalam aksi-aksi nyata baik
secara individu maupun sosial, oleh karena itu disebut sebuah peristiwa
konferensi.
Menurut Hasan Hanafi, dalam lima kewajiban
itu terlihat bahwa masalah yang bersifat spiritual juga bersifat material, aksi
yang duniawi juga agamawi, yang individual ssekaligus sosial. Dapat dikatakan
bahwa jaringan relasional Islam yang tampak adalah didasarkan pada pandangan
dunia Tauhid. Kehidupan muslim adalah kehidupan yang pasti dan dalam kehidupan
itu dibutuhkan lembaga ekonomi, politik, sosial dan kultural.
Sepanjang semangat Islam atau pandangan dunia Tauhid
menegaskan universalitasnya, maka cita-cita Islam akan sempurna.
5.
Teologi Pembebasan
Kedatangan Islam
membawa suatu gerakan revolusioner di dalam panggung sejarah kehidupan manusia,
baik dalam tatanan teologi maupun dalam tatanan sosial atau ekonomi. Namun
demikian menurut Hasan Hanafi setelah Nabi Muhammad meninggal, Islam seperti
kehilangan daya revolusioner. Perebutan kekuasaan dengan orientasi pada
kepentingan pribadi, berlangsung silih berganti sehingga muncullah orang-orang
yang menginginkan status quo.[15]
Hasan
Hanafi mengembangkan pemikiran teologi pembebasan dalam kerangka pemikiran Kiri
Islam. Dasar pemikirannya muncul dari reaksi terhadap program modernisasi di
negara-negara Islam. Berikut penilaian Hasan Hanafi, modernisasi cenderung
terkait dengan kekuasaan, kecenderungan liberal berkembang sebelum
berlangsungnya revolusi Arab, adanya gejala-gejala revolusoi nasional yang
menimbulkan perubahan mendasar didalam struktur sosial budaya.
Sekarang
ini agama apapun, dihadapkan pada tantangan-tantangan berupa relevansi sosial. Jika
suatu agama kehilangan relevansi sosial, maka agama tersebut pelan-pelan akan
pudar. Untuk itu dicarikan jalan keluar atas krisis kemanusiaan. Menurut
Amin Rais ada lima macam krisis kemanusiaan:
-
Tatanan
etika dan moral manusia modern mengalami
penjungkirbalikan yang luar biasa.
-
Adanya
kesenjangan sosial antara golongan kaya dengan kelompok miskin.
-
Adanya
ketimpangan pendidikan.
-
Suasana kehidupan global dan
nasional yang bersifat Hobessian (yang kuat memeras yang lemah).
-
Adanya
kerusakan ekologi akibat ulah manusia.
Bagi
Hanafi untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa
kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta memangun kembali
epistimologi baru yang shahih dan signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi
Hanafi adalah menjadikan teologi tidak skedar menjadi dogma-dogma keagamaan
yang kososng melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial. Ilmu
yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional berfungsi secara aktual sekaligus
sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
Rekonstruksi
teologi bagi Hanafi adalah salah satu cara yang mesti ditempuh jika teologi
diharapkan dapat mmberikan sumbangan yang kongkrit bagi sejarah kemanusiaan.
Kepentingan rekonstruksi itu pada tahap awal adalah untuk mentransformasi
teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang
kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif maupun kesejarahan.
Teologi
Islam adalah teologi yang membumi dalam makna bahwa, ia mesti sanggup menjawab
tantangan, dinamika dan problematika seluruh kehidupan manusia. Problematika
yang muncul ketika realitas umat masih diliputi penjajahan, ketakutan,
kemiskinan, ketimpangan, intimidasi, konservativisme, pembaratan, kebodohan,
kehilangan rasa percaya diri dan kreatifitas, perpecahan dan sederet predikat
tidak sedap lainnya. Ketika realitas umat seperti itu, maka kita dituntut untuk
menjadikan predikat-predikat tidak sedap itu sebagai tema-tema utama ilmu
Ushuluddin. Hal itu berarti mengharuskan adanya rekonstruksi ilmu Tauhid,
dari pola lama menjadi tauhid modern yang dihadapkan langsung dengan realitas
umat.foot
Langkah-langkah
rekonstruktif itu dapat dilakukan sebagai berikut:
Pertama, membngun suatu kerangka ideologi yang mempunyai
karakteristik yang jelas ditengah pergumulan bebagai ideologi yang ada di
muka bumi ini. Langkah itu dilakukan
dengan mengadakan transformasi sosial(al-Taghyir al-Ijtima’i) sambil tetap
menjaga kesinambungan masa kini dengan masa lalu. Dengan cara itu berarti ilmu
Tauhid telah membangun kerangka teoritis bagi upaya orientasi dan transformasi
sosial. Selain itu berarti pula bahwa ilmu tauhid telah menjembatani
kesenjangan antara “kehampaan teoritis” dengan ”kebekuan amali”
dalam kehidupan umat masa kini. Namun langkah itupun menuntut pembentukan
kaidah-kaidah praktis yang diambil dari muatan-muatan realitas , baik yang
bersifat materi maupun maknawi. Hal itu dengan sendirinya akan memunculkan
tema-tema teologis baru, seperti: Teologi Revolusi, Teologi Pembebasan, Teologi
Pembangunan, Teologi Transformasi sosial. Itu semua merupakan risalah (misi)
tauhid.
Kedua, penegasan bahwa ilmu tauhid corak baru ini tidak hanya
mempunyai fungsi teoritis tetapi juga mempunyai fungsi praktis. Tujuannya untuk
mewujudkan suatu ideologi secara nyata sebagai suatu gerakan dalam bentang
sejarah, setelah dilakukan pemberdayaan umat lewat reorientasi pemahaman tauhid
umat. Fungsi-fungsi amaliahnya adalah berupa penghapusan penjajahan secara langsung
atau tidak atas negara-negara muslim. Penghapusan segala bentuk
penindasan yang tercermin malalui banyaknya jumlah napol. Mempersatukan umat
yang terpecah-belah, menghilangkan batas-batas palsu buata colonial.
Ketiga, setelah penegasan dan integrasi fungsi tauhid diatas, perlu langkah praktis
berikutnya yaitu tawhid (mempersatukan) dan integarsi seluruh dunia
Islam (al-Alam al- Islami) hingga melampaui batas-batas territorial dan
geografis mereka. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan kasatuan dunia Islam
dalam segala aspek (pemikiran, pergerrakan, hukum, ideologi dan sebagainya)
terlepas dari keragaman bahasa bahasa,
etnis dan bangsa. Kasamaan, budaya,
sejarah peradaban dan tantangan dunia Islam adalah lebih besar ketimbang
batas-batas Negara dan editorial mereka. Kesamaan itu dapat menjadi perekat
diantara mereka dalam menyatukan langkah untuk membangun kembali peradaban dan megembalikan
kembali dunia ke tangan mereka.
6.
Reaktualisasi Khasanah Keilmuan Islam
Kiri Islam merupakan
kelanjutan dari Al-Urwah al-Wutska dan Al-Manar. Kiri Islam
berakar pada dimensi revolusioner dari
khazanah intelektual lama. Oleh karena itu, rekontruksi, pengembangan dan
pemurnian khazanah lama itu sangat penting
dilakukan. Khazanah klasik
terdiri dari tiga macam ilmu pengetauan,
yaitu ilmu-ilmu normatif rasional, misalnya ilmu ushuludin, ushul fiqih dan
tasawuf. Ilmu-ilmu rasional, ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan fisika.
Ilmu-ilmu normatif tradisional, misalnya ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih
dan tafsir.
Kiri Islam juga
berupaya merekonstruksi khasanah klasik islam. Tujuanya untuk membangun kembali
paradigm ilmu pengetauan islam. Cara-cara yang ditempuh dalam upaya ini antara
lain:
a.
Membuat
formulasi yang tepat untuk mengidentifikasi cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
mugkin diperoleh dari teks-teks agama dengan cara pemahaman lewat hipotesa dan
uji coba empiris terhadap nas-nas yang pengertian lahirnya jelas (muhkamah)
atau lewat penaffsiran linguistik atas nas-nas yang pengertian lahirnya tidak jelas
(mutasyabi). Penafsiran model itu dilakukansambil memperhatikan konteks serta
situasi waktu yang menjadi sebab turunya teks-teks tersebut. Upaya semacam ini
dinamakan logika tafsir atau hermeneutik. Hermeneutik merupakan salah satu tema
penting dalam pemikiran Hasan Hanafi. Bahkan ia menjadi bagian integral dari
wacana pemikirannya baik dalam filsafat maupun teologi untuk memahami suatu
teks.
b.
Menunjukasan
proses kerja akal yang menentukan karakteristik fenomena pemikiran yang berada
dibalik wujud ilmu pengetauan klasik. Proses ini merupakan suatu aktivitas akal
yang terdapat pada setiap peradaban yang bersumber dari wahyu. Dengan
pengetahuan ini dapat merekonstruksi ilmu-ilmu klasik (turats) menjadi
ilmu-ilmu baru yang sejalan dengan perkembangan masa kini. Sambil tetap
melestarikan semangat yang dikandung oleh turats-turats yang direkonstruksi
tersebut, menurut Hasan Hanafi disebut ”logika Fenomena”.
c.
Memilih unsur-unsur mana yang positif dan mana yang
negatif dalam setiap cabang ilmu pengetahuan, seraya memahami kerangka teoritis
yang dikandung masing-masing unsur. Unsur negatifpun mesti dipelajari, sejauh
mana perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Jika telah diketahui mana
yang positif mana yang negatif, kemudian diambil unsur positifnya. Cara semacam
itu diberi nama ”logika Penilaian”.
Hasan hanafi untuk membangun pemikiranya dengan cara memilih pemikiran
suatu madzhab seperti kecenderungan kepada teologi muktazilah, filsafat Ibnu
Rusyd dan fiqih Hanafi. Pemilian terhadap model-model pemikiran tersebut
diorientasikan kedalam kerangka pembagunan ideologi gerakan yang
transformatif (berubah-ubah bentuknya).8
d.
Mentransformasikan
semua kerangka teoritis yang telah disebutkan dahulu, yang sebelumnya telah
dikritisi dan disarikan sejalan dengan kerangka teoritis modern agar memuat
dimensi-dimensi baru, baik dalam aspek kebahasaannya maupun dalam hal
kemampuannya, dalam menyikapi dan menganalisis persoalan-persoalan baru serta
dalam kemampuannya memberi materi-materi pemikiran bagi realitas baru yang
berkembang. Yang deikian disebut ”logika Pembaruan”
Reaktualisasi tradisi keilmuan islam berarti menghidupkan
kembali tradisi keilmuan islam. Hasan hanafi menganggap bahwa turats mempunyai
tanggung jawab moral sebagai pemacu kelangsungan proses pembaharuan. Turats
bukanlah museum pemikiran yang dapat kita banggakan tetapi merupakan suatu
teori untuk aksi dan membimbing moral untuk manusia dan alam sekitar. Turats
bukanlah materi yang tersimpan didalam perpustakaan tetapi sesuatu yang
tersimpan dalam diri masyarakat. Dengan demikian reaktualisasi turats keilmuan
islam yang dimaksud hasan hanafi sebagai reaktualisasi untuk mengkonfrontasikan
ancaman-ancaman baru yang datang kedunia dengan menggunakan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah.
Proyek Al-Turats wa Al-Tajdid merupakan kerangka
umum pemikiran saja, pada tahap selanjutnya, Hanafi berusaha menyentuh fokus
persoalan.9 Dalam bidang ilmu ushuludin, kiri islam
cenderung kepada muktazilah yang mengedepankan rasionalisme naturalisme dan
kebebasan manusia. Pada
ilmu fiqih dan ushul fiqih mengikuti Maliki karena ia menggunakan pendekatan
kemaslahatan (massalah mursalah) serta membela kepentingan orang Islam. Dan
pada bidang filsafat mengikuti Ibnu Rusdy. Ia
menghindari iluminasi dan metafisika dengan mendayakan rasio untuk menganalisis
hukum alam.
Manusia bebas dan
bertanggung jawab atas segala perbuatannya, ia mempunyai kekuatan menentukan,
baik sebelum maupun ketika bertindak. Akal mampu menilai baik dan buruk karena
keduanya adalah sesuatu yang obyektif dan terwujud dalam perbuatan. Dunia
berjalan menuju kebaikan dan membutuhkan reformasi. Pahala tergantunga pada
perbuatan dan disertai iman.
Kiri Islam menolak tasawuf yang menyebabkan
gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan kompetensi duniawi. Islam
kemudian berubah dari suatu gerakan
horisontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal yang keluar dari kehidupan dunia, Islam yang
semula milik seluruh umat Islam tiba-tiba menjadi Islam yang eksklusif milik
kaum sufi jamaah tarekat.10 Dalam kondisi krisis seperti itu tidak ada
yang mencoba melepaskan diri. ’kesabaran’ telah membuat diam dalam segala
hal. ’Ridho’telah membiarkan semuanya. ‘tawakal’
membuat mengabaikan antisispasi masa depan. Manunggal dengan Tuhan telah menenggelamkan
dalam ilusi. Padahal kenyataannya berbeda sama sekali. Bumi kita telah dirampas
oleh orang lain, milik kita telah direbut oleh penguasa. Oleh karena itu yang
seharusnya dilakukan adalah berkarya dan berjuang menegakkan misi kemanusiaan.
Sedangkan ’manunggal’ adalah menerapkan syariat dan hukum Allah dan membumikan
wahyu ke dalam tatanan dunia secara aktif melalui gerakan kaum muslim dalam
gerak sejarah.
7.
Kiri Islam dan Peradaban Barat
Kiri Islam hadir untuk
menantang dan menggantikan kedudukan barat. Jika Al-Afghani memperingatkan
tentang imperialisme militer, maka Kiri Islam pada awal abad ini telah
menghadapi ancaman imperialisme ekonomi, sekaligus mengingatkan akan ancaman
imperialisme kebudayaan, imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara
menyerang kebudayaan dari dalam, sehingga umat tercabut dari akarnya. Kiri
islam memperkuat umat islam dari dalam dan tradisinya sendiri berdiri melawan
pembaratan.11
Sebelumnya, peradaban Barat dimulai dari
peradaban Yunani yang menyerap dari peradaban-peradaban Timur, seperti Cina , India ,
Persia
dan Mesir. Zaman pertengahan dianggap masa suram dan kemunduran peradaban Barat
dan pada saat itu merupakan masa keemasan bagi peradaban Islam pada gelombang
pertama. Lima
abad berikutnya oleh Barat disebut zaman modern dan dianggap sebagai puncak
peradabannya. Dimulai dari rekonstruksi pada abad 14, reformasi agama pada abad
15, kebangkitan abad 16, rasionalisme abad 17, renaissance abad 18, ilmiah abad
19 dan krisis abad 20.12 Pada abad-abad modern Islam mengalami
kemunduran. Dan abad 20 sering dianggap sebagai permulaaan kebangkitan Islam
gelombang kedua yang dimulai dari rekonstruksi dan reformasi agama kita.
Tugas kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat
bersama kekuatan militernya kembali ke Barat. Lebih jauh kiri Islam akan
melahirkan suatu disiplin ilmu baru, yakni oksidentalisme 13. Sebagai tandingan terhadap orientalisme.
Penguasaan yang dilakukan oleh Barat terhadap
Timur menimbulkan kebencian yang semakin memuncak. Kebencian tersebut tidak
hanya diekspresikan sebatas sikap pasif, tetapi berupa usaha-usaha untuk
menjawab dan membongkar kepalsuan Barat yang sudah banyak dilakukan, terutama
kritik terhadap orientalisme dalam menilai Islam. Menurut Tibawi, orientalisme
diciptakan selain sebagai misionaris Kristen juga sebagai penghancur agama
Islam dari dalam.14 sSejarah orientalisme adalah merupakan
suatu dendam dan niat menguasai budaya
lain yang sebelumya dianggap sebagai ancaman bagi bangsa Barat. Khususnya yang
menyangkut dunia Arab-Islam. Sejarah ini bermula dari kajian atas karya-karya
ilmiah dan karya budaya kaum Muslim setelah adanya interaksi dan pergantian
kuasa wilayah Islam di belahan Barat (Andalusia) kepada kuasa Kristen dan
perang Salib di kota-kota suci Islam di daerah Syam dan Palestina.
Mengenai Peradaban Barat, mengalami perkembangan
dalam tiga tahapan: pertama,tahap pembangkangan terhadap gereja. kedua, tahap
skolastik dan ketiga, tahap modern. Pada tahap pertama ritual keagamaan dan
ortodoksi keagamaan (trinitas dan dosa waris) mendapatkan kritik, tahap skolastik
adalah masa keemasan peradaban Islam gelombang pertama. Masa ini memperlihatkan kesadaran atas kejumudan dan
masuk ke budaya rasionalisme dan penguasaan ilmu pengetahuan. Masa ini banyak
karya-karya filsafat dan pengetahuan Islam diterjemahkan dan tersebar keseluruh
pelosok sepanyol, Italia dan Turki, zaman modern merupakan permulaan pendewaan
rasio dan eksperimentasi ilmiah mampu menguak hukum-hukum alam secara empiris. Walaupun
rasionalisme eropa memperoleh kemenangan ternyata juga menyimpan beberapa
keretakan, yang selanjutnya menimbulkan reaksi lahirnya anti rasionalisme
modern.
Kiri Islam ingin
memulai hidup baru yang berintikan wacana reformasi, vitalisasi, pencerahan,
kebangkitan, sosial dan revolusi. Dan secara praktis akan selalu memperjuangkan
kemerdekaan tanah air dan kedaulatan bangsa-bangsa serta akan mengemas
ideologi-ideologi pembebasan untuk umat manusia. Jadi semata-mata bukan berupa
perspektif politik terhadap realitas, juga bukan perspektif kultural terhadap
masa lampau tapi merupakan pandangan kebudayaan terhadap sejarah bangsa-bangsa
yang bertumpu pada analisis ilmiah akademis yang canggih dan mendiagnosa kultur
barat dalam rangka membebaskan umat.
8.
Kritik Terhadap Hasan Hanafi
Hasan Hanafi
dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran
dan sebagai reformis tradisi
intelektual Islam klasik yang mirip muhammad Abduh dan penerus gerakan al-Afghani. Sebagai seorang pemikir, Hasan Hanafi hanya membahas revolusi
dunia Islam di Iran serta arah pemikirannya pada negara arab dan sekitarnya, tidak sampai pada negara- negara Islam
lainnya atau seluruh dunia. Hal ini diantaranya yang menyebabkan Kiri Islam
tidak banyak mendapat perhatian dari para intelektual muslim.
Dalam hal ini tugas
Kiri Islam adalah memperjuangkan kebebasan dengan segala dimensinya, menegakkan
pemerintahan demokrasi dan mengajarkan
bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan didalam menentukan corak
negerinya, tidak perlu ada tuduhan subversi (menggulingkan pemerintahan) serta
tidak ada tuduhan penghianat.15
Sebagai seorang
pemikir Hasan Hanafi mendapat beberapa kritikan dari orang lain, diantaranya
yang disampaikan oleh Kazuo Shimogaki.
·
Dari
segi pemikiran Hasan Hanafi dapat didefinisikan pada modernis, tapi tidak
seluruhnya benar, terutama karena Hanafi menggunakan analisis fenomenologis
yang muncul di barat untuk melawan modernisme. Walaupun ia sudah menyerap
modernitas dan praposmodernitas, tapi ia belum merambah pada gerakan pemikiran
yang palinga baru di barat yakni posmodernisme. Sehingga pemikiran Hanafi masih
pada permukaan.
·
Mengenai
istilah Kiri Islam yang digunakam Hasan Hanafi, bukanlah hasil ciptaannya
karena pada tahun 1972 A.G Salih sudah menggunakan istilah Kiri Islam dalam karya tulisnya.
·
Pembahasan
mengenai imperialisme kultur. Bahwa sejak dulu hubungan antara dunia barat
dengan dunia Islam sudah bergesek bahkan sebelum perang Salib, oleh karena itu
di barat citra Islam terkesan negatif, bahkan tidak hanya masalah citra, tetapi
sudah merambah pada dunia akademik barat yang akhirnya melahirkan istilah
”orientalisme”.
·
Penilaian
terhadap Kiri Islam.
Pada kenyataanya
Hasan Hanafi mengemukakan beberapa permasalahan yang sangat penting dan
argumennya tajam. Akan tetapi Kiri Islam tidak mampu mempengaruhi kaum
intelektual dan massa di dunia Arab-Islam.
Kritik
yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid.
Menyayangkan sikap
Hasan Hanafi yang tidak memberikan apresiasi kepada tasawuf. Padahal, kata Cak
Nur, masalah hubungan antara kepentingan dan pengetahuan sebetulnya di
bahas di dalam tasawuf. Dalam jargon tasawuf, iklas adalah hal syang paling
sulit. Sehingga, dalam kitab Al-Hikam, kitab tasawuf yang paling sederhana diungkapkan bahwa
keikhlasan merupakan rahasia antara Tuhan dan manusia. Keikhlasan memang sulit.
Dalam Al-Hikam dilukiskan, bahwa seorang sufi besar sekalipun sulit sekali
mengikis kecenderungan pamrih atau riya’. Masalah tersebut oleh cak Nur
ditransformasikan kedalam ilmu sosial modern, dengan mengatakan bahwa
pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi secara sosial. Jadi sebetulnya apa
yang dikatakan dalam ilmu tasawuf sebagai hawa al nafs (keinginan diri
sendiri) adalah wujud dari konstruksi sosial. Karena itu Hasan Hanafi ingin melihat Islam tidak dari teks tapi dari
kenyataan.
PENUTUP
Demikianlah uraian
makalah tentang Kiri Islam yang dimunculkan oleh Hasan Hanafi, seorang
intelektual muslim dan revolusioner yang menyumbangkan hasil fikirannya untuk
mengangkat kaum lemah, tertindas, termarjinalkan dalam dunia Islam agar bisa
sejajar dengan yang lainnya.
Dalam pembuatan
makalah ini sudah pasti masih jauh dari sempurna, untuk itu pemakalah
mengharapkan sumbang saran dari semuanya demi sempurnanya makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Badruzaman, Abad, Lc. Kiri Islam, Hasan Hanafi,
Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2005
Hanafi, Hasan, Oposisi Pasca Tradisi,
penerjemah Nahdiyyin, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003
Hatsin, Abu MA, Ph.D. Islam dan Humanisme,
Yogyakarta: IAIN Wali Songo Semarang,
Hasan Hanafi, Melawan
tekstualisasi Tradisi Klasik dan Tekstualisasi Modernistas, Tashwirul
Afkar, edisi no: 8, 2000
Maulana, Ahmad, Kamus Ilmiah Populer,
Yogyakarta, Absolut, 2008
Partanto, A. Pius. M. Dahlan Al Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Poerwadarminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984
Rais, Amien M, Tauhid Sosial: Formula Mengempur
Kesenjangan, Bandung: Mizan, 1998
Shimogaki, Kazuo Kiri Islam Hasan Hanafi Antara
modernisme dan posmodernisme, Yogyakarta: LkiS, 2007, cetakan ke VII
Sosialisme Ilmiah, dalam
http: www.prp-Indonesia.org
/sosialisme-ilmiah html. Diakses pada 08 Desember 2008
Supriadi, Eko, Sosialisme Islam: pemikiran Ali Syari’ati,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Taufik,Ahmad M.Pd. Huda,Dimyati M.Ag.
Maunah,Binti M.Ag, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2005.
Tauhid, Abdi, Islam sesengguhnya Kiri,
dalam http:// www.mail archife.com/indonews@indo-news.com/msg
06528.html diakses pada 08 Desember 2008
Tcokroaminoto, HOS, Islam dan Sosialisme,
Jakarta: Bulan Bintang, 1954
Tuner, Briyan S, Sosiologi Islam:Suatu Telaah
Analitis atas Tesa Sosiologi Weber, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994
1 Ahmad
Taufiq, M Dimyati, Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme
Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.201
2.Abad Badruzzaman, Kiri
Islam Hasan Hanafi, menggugat kemapanan Agama dan politik, (yogyakarta:
Tiara Wacana Yogyakarta), h.41
3Ibid, h. 42
4 Abdurrahman
Wahid, Hasan Hanafi dan eksperimentasinya, (yogyakarta: LkiS, 2007) h.
ix
5
Ibid, h. xi
7Sosial dan Islam, http://tehtarikgelasbesar,
blogspot.com/2008/10/Sosialisme-dan-Islam.html diakses pada tanggal 08 Desember
2008
8. Ibid,
9Eko
Supriyadi, sosialisme Islam: pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003) h. 6
11 Adnan, Islam
Sosialis: Pemikiran Sistem Ekonomi Sosialis Religius Sjafruddin Prawiranegara,
(Jogyakarta: Menera Kudus, 2003) h.55
13 Briyan S.
Tumer, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) h. 331-332
14Ahmad Maulana, dkk, Kamus Ilmiah popular,
(Yogyakarta: Absolut, 2008) h.89
[15]
Ibid, h. 48
16A.H Ridwan, reformasi
Intelektual Islam,pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan
Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press,1998) h.22
9 Hasan
Hanafi, Tashwirul Afkar, (Yogyakarta, LKiS, edisi 8, 2000) h. 89
11
Ibid, h.136
14
Abad Badruzaman, Kiri Islam…………
h.93
15
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam …….h.162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar