A.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang mempunyai
konsep pola hokum-hukum dalam tatanan social yang sangat disiplin serta sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai akhlaq baik yang bersifat individu ataupun
kolektif (kelompok) social.
Bahkan tidak disangka lagi bahwa
proses kehadiran ilmu-ilmu tak pelak banyak kalangan tokoh-tokoh pemikir
mengatakan ilmu pengetahuan berakar dari dunia Islam atau al-Quran. Namun dunia
begitu luas dan tuntutan zaman sedikit demi sedikit mulai menjalar yang dikenal
dengan dunia klasic ke modern, yang menurut banyak golongan manusia yang
notabene tidak lagi memproyeksikan dunia Islam sebagai kaum yang modern
sehingga terjjjaaadilah perpecahan kiblat ilmu pengetahuan.
Dunia barat dan timur, dua kiblat
ilmu pengetahuan inilah yang pada saat ini menjadi sebuah perbedaan yang cukup
emosional. Dengan adanya kategori inilah yang kemudian banyak tokoh-tokoh mulai
menfilter konsep pemikiran mereka dengan mencoba mengikuti salah satu akar ilmu
pengetahuan.
B.
Biografi al-Jabiri
Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig,
sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat
ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta
yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan
pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan
memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal
al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai
tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di
universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia
menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah
al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992),
dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh
oleh Bergson dan Sarter.
Jabiri muda merupakan seorang aktvis
politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale
des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste
des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro
politik USFP.
Di samping aktif dalam politik,
Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah
mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program
pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari dan
Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan
kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh
karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Topik
yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik
hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan
penerbitan buku Nahwu wa al-Turast-nya, disusul dua tahun kemudian
dengan al-Khitab al-’Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua
buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai
pengantar kepada grand proyek inteletualnya ‘Naqd al-’Aql al-’Arabi (kritik
akal Arab).
Buku ini bertujuan sebagai upaya
untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa
saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini
telah menerbitkan Takwim al-’Aql al-’Arabi, Bunya al-’Aql-’Arabi, al-A’ql
al-Siyasi-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah
li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang
termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-’Arabi
al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li
akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat,
al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996,
al-Mashru al-Nahdawi al-’Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa
Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah
al-’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah
al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi.[1]
C.
Pemikiran al-Jabiri
Adapun latar belakang yang membuat
Jabiri menulis triloginya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi
fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa
seratus tahun yang lampau, mereka tidak mampu memberikan kontentum yang jelas
dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang
mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak
berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense
of difference antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat
modern. Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab
tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak
biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun
dalam perencanaan ilmiah.[2]
a.
Turats dan Modernitas
Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats
(tradisi). Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”,
tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi
kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang
dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang
lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh
atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode
tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh
jarak waktu tertentu.
Tradisi, dalam pandangan M. Abied
Al-Jabiri adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal
dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut
adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara
masa lalu dan masa kini. Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita
saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi, dalam pandangan
Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang
ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa
lalu.[3]
Persoalannya, adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan
dengan masa kini. Dalam kaidah NU dikenal kaidah : “al-muhafadhatu ala al-qadim
as-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik). Artinya, tradisi itu direkonstruksi
dengan menginternalisasikan pemikiran-pemikiran kontemporer.
Metodologi yang dipakai Al-Jabiri
dalam mengkaji persoalan tradisi adalah dengan pendekatan “Obyektivisme”
(maudlu’iyah) dan “Rasionalitas” (ma’quliyah). Obyektivisme artinya menjadikan
tradisi lebih kontekstual dengan dirinya, dan berarti memisahkan dirinya dari
kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah dekonstruksi, yaitu membebaskan diri
dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini,
dengan jalan memisahkan antara subyek pengkaji dan obyek yang dikaji.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan rasionalitas adalah menjadikan tradisi
tersebut lebih kotekstual dengan kondisi kekinian kita. Tahap kedua adalah
merekonstruksi pemikiran baru dengan menghubungkan antara obyek dan subyek
kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini dilakukan agar didapatkan pembacaan yang
holistik terhadap tradisi.
Al-Jabiri sangat menekankan
epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi
modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideologi dalam proyek peradabannya,
dengan menyusun tetralogy bukunya yang serius digarap. Dalam bukunya Nahnu wa
at-Turats : Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi (Kita dan Warisan
Pembacaan Kontemporer terhadap Warisan Filsafat Kita), Al-Jabiri memetakan
perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan
epistemologis filsafat Arab. Menurut Al-Jabiri, muatan epistemologis filsafat
Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan
muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait dengan konflik
sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis)
sering dipakai Al-Jabiry dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi
merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi
kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik
yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada.
Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk
memecahkan problematika yang dihadapinya.
Al-Jabiri mencatat adanya sebuah
problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu
kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau
(namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu
berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurut Al-Jabiry,
dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolok dari
realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Menurut Al-Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau
warusan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan
kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama
dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan.
Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik,
sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Yang menarik dalam pemikiran
Al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi dengan modernitas adalah
keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme dalam pembacaan terhadap
teks-teks agama. Pertama, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam filsafat.
Semangat yang mendasari rasionalisme pemikiran Ibnu Rusyd adalah sikap kritis
dan ilmiah, serta berafiliasi kepada tradisi pemikiran rasionalisme yang
menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan asiomatik ini mengulang kembali
paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi sistem pengetahuan yang berdasar
pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh Aristoteles beberapa abad
sebelumnya.
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani
antara realitas tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun
Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan
“universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas
kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep
modernitas pertama dan paling utama adalah dalam rangka mengembangkan sebuah
metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya
melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan
sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.
Karena itu, gagasan modernitas bukan
untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade
sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi
dalam tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah
dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern
tentang tradisi Modernitas adalah sebuah keharusan bagi seorang
intelektual selain diri sendiri supaya dia mampu menjelaskan segenap fenomena
kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul. Sehingga modernitas yang
demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka
menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh
apresiasinya[4]
b.
Epistimologi Nalar
arab
Dalam bukunya Takwin al-‘Arabi,
al-Jabiri mendefinisikan epistemologi sebagai sejumlah konsep, prinsip dan cara
kerja untuk mencari pengetahuan dalam rentang sejarah dan kebudayaan tertentu
dengan struktur tak sadar yang melingkupinya. Sementara Nalar Arab dimaknai
sebagai al-‘aql al-mukawwan, yakni kumpulan aturan, dan kaidah berpikir
yang diberikan oleh budaya Arab terhadap penganutnya sebagai landasan untuk
memperoleh pengetahuan.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-‘aql
al-‘arabi (nalar Arab), Al-Jabiri mengajak setiap penbaca untuk menyepakati
bahwa al-‘aql yang dimaksud merupakan ungkapan lain dari al-fikr (pemikiran)
sebagai adat (perangkat), bukan sebagai intaj (produk).
Sementara nalar Arab itu sendiri
menurutnya mempunyai tiga sistem pengetahuan atau epistemologi, yaitu epistem
bahasa (bayani) yang berasal dari kebudayaan Arab, epistem gnosis (‘irfani)
yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis dan epistem rasionalis (burhani)
yang berasal dari Yunani.[5]
Untuk menjawab
tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab
yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih
beroperasi, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi serta
eksplikasi(‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling
awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan
pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum
al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis.
Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk
menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem ini
didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan
memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang
tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa
yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al-’irfan)
yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode
epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran
esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga,
disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan
atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi
intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani
adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi
umumnya.[6]
D.
Kesimpulan
Dari gagasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep pemikiran
Al-Jabiri ada dua poin yang dapat kita amalkan
1.
Konsep turats dan
modernitas
Dimana adanya modenitas mempunyai peran untuk mengekplorasi tradisi
2.
Epistimologi Nalar Arab
Nalar Arab merupakan sebuah konsep pola berfikir dari al-Jabiri
dengan mengandalkan kebudayaan arab yang ditawarkan sebagai kiblat ilmu
pengetahuansebagai landasan berpikir.
[1] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman
Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 325-326
[2] Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed.,
Mosaik Pemikiran Islam Timur Engah (Bandung :
Mizan, 2001), h. 304.
[3] Ibid, h 306
[4] http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=148
[5] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html
[6]
http://222.124.207.202/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332&q=Al
Tidak ada komentar:
Posting Komentar