Minggu, 25 Maret 2012

Sistematika Filsafat Aksiologi


Makalah ini di persentasikan oleh;
Sri Puji Astutik
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Syari'ah
Institut agama Islam Nurul Jadid

SISITEMATIKA  FILSAFAT AKSIOLOGI

BAB 1
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Pakar filsafat pendidikan Islam seperti Syed Naquib al-Attas menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai, ia netral sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat. Oleh karena itu umat Islam perlu mengislamisasikan ilmu.
Pernyataan al-Attas tersebut bahwa ilmu bebas nilai mengindikasikan adanya aksiologi, yakni pertimbangan nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu apapun namanya, jika ia diletakkan dalam wadah yang islami, maka ilmu tersebut adalah “ilmu Islam” dan di luar itu tidak islami.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal.
Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuannya, yakni mempokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu.
Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai, serta hal lain yang terkait dengannya.
B.    Rumusan Masalah
Berdasar dari uraian latar belakang sebelumnya maka masalah pokok yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimana konsep ilmu dan pertimbangan nilai perspektif filsafat, dan agar kajiannya terarah dan sistematis, berikut ini dikemukakan tiga sub masalah, yakni :
1.     Bagaimana tinjauan tentang ilmu dari segi nilai (aksiologi) ?
2.     Bagaimana aksiologi dalam pandangan aliran-aliran filsafat ?
3.     Bagaimana sumbangan aksiologi terhadap ilmu pengetahuan ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Aksiologi
Memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
 Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani  yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Richard Bender : Suatu nilai adalah Menurut sebuah pengalaman yang
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di Dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
B. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)   
    Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak tahu).
      Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.
       Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu.
       Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu. Selanjutnya menurut Al-Qadhi ‘Abd. al-Jabbar bahwa
العلم يقتضى سكون العالم الى ماتناوله
“ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah dicapainya”
Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangan Imam al-Gazali bahwa
العلم هو حصول المثال فى القلب
 “ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati”
Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة  yang di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية  yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan.
Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara konprehensif.Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih lanjutnya menurutnya bahwa,Ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral.  Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya.
Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan
Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.
Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu. Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai macam-macam makna seperti
1.   Mengandung nilai, artinya berguna;
2.   Merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah;
3.   Mempunyai nilai artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu;
4.   Memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya.Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral.Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dna hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
 C. Persoalan Pokok Dalam Aksiologi
Persoalan pokok aksiologi mencakup tentang nilai subjektif dan nilai objektif, metode memperoleh nilai, dan wujud nilai. Ada dua pertanyaan mendasar tentag nilai yaitu apakah sesuatu itu bernilai karena diinginkan oleh subjek atau subjek yang menginginkannya karena sesuatu hal itu sendiri mengandung nilai.
 Landasan aksiologi dari ilmu pengetahua adalah analisis tentang penerapan hasil-hail temuan ilmu pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan keluhuran hidup manusia.
Contohnya dalam ilmu keperawatan:
Hampir semua penyakit dan ilmu dapat dipelajari oleh kita. Semua itu berangkat dari filsafat. Filsafat itu ibarat pondasi dalam sebuah bangunan. Filsafat (mencari kebenaran versi manusia) mulanya berasal dari data empiris. Filsafat ilmu adalah ikhtiar manusia untuk memahami pengetahuan agar menjadi bijaksana. Dengan filsafat ilmu keabsahan atau cara pandang harus bersifat ilmiah. Filsafat ilmu memperkenalkan knowledge dan science yang dapat ditransfer melalui proses pembelajaran atau pendidikan.
C.   Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
1.     Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller,  Georger Santayana, dan Jhon Dewey.
Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
2.     Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini   adalah  Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827),  John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909).
Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut.
a.   Teori nilai menurut idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

b.   Teori nilai menurut realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya
3.     Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran  ini diantaranya  Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain.
Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
4.     Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
5.     Sumbangan Aksiologi Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan sumber daya manusia. SDM ini merupakan derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis, perolehan ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena usaha manusia harus mengantisipasi hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.
Telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa ilmu bebas nilai, dan hal tersebut menyebabkan banyak penilaian terhadap ilmu pengetahuan. Dalam pemamaham seperti maka keberadaan aksiologi memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Berkaitan dengan itulah, sumbangan aksiologi sebagaimana dalam berbagai aliran filsafat terhadap ilmu pengetahuan dapat dikemukakan sebagai beriku:
1.     Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu karena telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.
2.     Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
3.     Aliran perenialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan perolehan ilmu adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.
4.     Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.
Dengan demikian implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di ilmu pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan secara praktis dan  tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Konsekuensi dari segi aksiologi adalah ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Bentuk sumbangannya antara lain dapat dilihat dengan adanya konsep Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi  Syed M. Naquib al-Attas yang telah lama memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam di Barat, menegaskan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah rusaknya ilmu pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga mereka tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
Dari kajiannya yang sistematis, maka tokoh ini menawarkan agar ilmu pengetahuan yang telah rusak itu, harus dibenahi secara fundamental yang kemudian dia istilahkan dengan “Islamisasi Sains”
Terkait dengan itu, maka berikut ini dikemukakan beberapa proposisi tentang kemungkinan islamisasi sains, yakni ;
1.     Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur.  Bila alam dikelola sesuai dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.  “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang emban dari Tuhan.
2.     Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya.  Sebagai produk pikiran maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
3.     Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
Dapatlah dipahami bahwa secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan Islam.  Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diorientasikan pada weltans-chauung (pandangan dunia), mendudukkan weltanschau-ung pada strata tertinggi, yakni fakta, pengamatan dan pemaknaan semuanya diwarnai oleh weltanschauung Islami.
6.                                                                                                                                                                                                                                                                                   Jenis Nilai    
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2 yaitu :
a.                                                                                                                                                                                                                                                                       Etika dan Pendidikan
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyubutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang meuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan.
Jadi, etika merupakan cabang filsafat  yang membicarakan perbutan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan  tidak  baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki  hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.
Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif.
Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu -berdasarkan pada pendekatan etik moral- pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
b.                                                                                                                                                                                                                                                                       Estetika dan Pendidikan
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni :
a.     Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
b.     Seni sebagai alat  kesenangan.
c.      Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).



























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai (value free of sciences)” ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas ‘supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
Oleh karena ilmu bebas nilai, maka pentimbangan nilai (aksiologi) memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Sumbangan aksiologi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aliran filsafat yang disebutkan di atas. Di samping itu, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konsep islamisasi sains dewasa ini. Dengan demikian, secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan dalam Islam.







DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Daud, Wan Mohd. Nor Wan. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas. Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
Ibn Faris Zakariyah, Abu Husayn Muhammad. Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz III Cet. III; Mesir: Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1971.
Indar, Djuberansyah. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama. 1997.
Mudhafir, Ali. “Pengenalan Filsafat” dalam Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Cet. I; Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.
Sahabuddin. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar kedalam Pemikiran, Pemahaman, dan
Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmi, et. all dengan judul Filsafat dan Praktik Pendidi-kan Islam Syed M. Naquib al-Attas (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 317.
Harold H. Titus, et. al., The Living Issues of Philosophy, diterjemahkan oleh H. M. Rasyidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 254.
Al-Qadhi ‘Abd. Jabbar, Al-Ma’na fi Abwab al-Tawhid, jilid XII (Kiro: Muassasah al-Mi¡riyah al-Ammah li al-Nasyr, 1972), h. 13.
hilosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 327.

Sabtu, 24 Maret 2012

Sejarah Perkembangan Hadist


SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST
MUHAMMAD MAKRUFI
----
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Keberadaan hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.
Perkembangan hadist pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadist. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadist. Selain itu juga disebabkan fokus Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in besar. Bahkan dengan Khalifah yang lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadist secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik turunnya perkembangan hadist, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadist memberikan pengaruh besar dalam sejarah peradaban islam.

B.   Rumusan Masalah
1.     Bagaimana sejarah perkembanagn hadist pada masa Rasulullah SAW ?
2.     Bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa Sahabat (Khulafa’ Al-Rasyidin) ?
3.     Bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa Tabi’in ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadist.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
1.     Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau mukim (berada dirumah).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :
Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.[1]

Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
2.     Keadaan para sahabat dalam meneriam dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:[2]
a.     Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
b.     Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
c.      Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
d.     Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:
a.     Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.
b.     Ummahat Al-Mu’minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
c.      Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.
d.     Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
e.      Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
3.     Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan dan Tulisan.
a.     Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
b.     Aktifitas menulis hadist
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.
” tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak”.
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
a.     Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b.     Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
c.      Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.[3]

B.   Hadist Pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
1.     Sahabat dan Periwayatan Hadist
a.     Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :
تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه
Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
b.     Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist.
Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.

Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
c.      Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.
2.     Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu, misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan tertentu hadist nabi ditulisnya.
3.     Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.
Sikap kehati-hatian kedua sahabat tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:[4]
a.     Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
b.     Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
c.      Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

C.   Hadist Pada Masa Tabi’in
1.     Wawasan Hukum Zaman Tabi’in
Antara Islam sebagai agama dan hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi SAW. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu. Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi’in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da’irat al-Ma’murah) telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang haruas dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi’in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.
2.     Pusat-pusat Pembinaan Hadist[5]
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, yaitu ialah Madinah Al-Munawaroh, Mekah Al-Mukaroma, kufah basrah, syam, mesir, magrib, dan Andalas, yaman, dan khurasan dan sejumlah para sahabat Pembina hadits pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat banyak meriwayatkan hadis, antara lain Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, Aisyah, Abdullah Bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id Al-Khudzri.
Pusat pembinaan hadis pertama adalah madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap setelah hijrah. Disini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang terdiri dari Muahajirin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, disamping umat non muslim, seperti yahudi yang dilindungi oleh beliau. Para sahabat menetap disini, diantaranya khula Ar-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah Bin Umar, dan Abu Said Al-khudzri serta para pembesar tabi’in.
Diantara para sahabat yang membina hadis di mekah tercatat nama-nama, seperti Muadz Bin Zabal, Atab Bin Asid, Haris Bin Hisyam, Usman Bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini tercatat Mujahid Bin Jabar, Ata’ Bin Abi Rabah, Tawus Bin Kaisam dan Ikrimah Maula Ibnu Abbas.
Masih banyak para sahabat dan Tabi’in yang berperan dalam perkembangan hadis diberbagai kota.
3.     Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadis
Pergolakan politik ini terjkadi pada masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin, ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut, dengan terpecahnya umat islam kedalam beberapa kelompok. Secara langsung maupun tidak langsung, pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh kepada perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negative ialah munculnya hadis-hadis palsu (maudu’).
Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha untuk mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya peyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan akibat dari pergolakan politik tersebut.[6]

D.   Proses Perkembangan Hadis pada Masa Kodifikasi
Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Abu Naaim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan perhatikan hadits Nabi dan kumpulkan. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah SAW, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi SAW .[7]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zaharah al- Anshariyah (21-98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M.M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jamia dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa taadil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismaail al-Bukhari.

BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya.
1.     Hadist pada masa Rasul SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:
a.     Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka, dan lain-lain.
b.     Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing sahabat.
c.      Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.
2.     Hadist pada masa sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :
a.     Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
b.     Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
c.      Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
3.     Hadist pada masa tabi’in
Pada masa ini juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadist, dan ada bebrapa hal yang begitu berpengaruh dalam hal perkembangan hadist, diantara pengaruh positif yang ada adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
4.     Masa Kodifikasi

DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002)
Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah. pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002)
Munzir Suparta, Sejarah Dan Prngantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang 1991)
Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah. pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005
 Subhy Ash Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000)


[1] Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002) hal 55
[2] Ibid, hal 56
[3] Ibid hal56
[4] Munzir Suparta, Sejarah Dan Prngantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang 1991) hal 93
[5] Ibid hal 50
[6] Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah. pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005
[7] Subhy Ash Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000) hal, 76