بسم الله الرحمن الرحيم
Makrufi
Muhammad
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NURUL JADID
Metodologi Studi Islam
WAWASAN KESETARAAN GENDER
Dosen Pembimbing
Dr.
Syamsul Hadi, M.Ag
A.
PENDAHULUAN
Sejak diturunkan,
risalah Islam telah menyelamatkan perempuan dari rusaknya peradaban manusia
yang tidak menghargai kaum hawa. Membunuh anak perempuan karena rasa malu,
menjadikan wanita barang warisan, memperlakukan wanita hanya sebagai pemuas
nafsu laki-laki dan sasaran pelampiasan kekerasan adalah hal yang ada hampir
diseluruh dunia sebelum datang Islam.
Islam datang
mengangkat permpuan dari derajat yang demikian menjadi kaum yang sangat mulia,
dengan beberapa keistimewaan. Memang Islam tidak mengekang perempuan. Islam
memperbolehkan perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Karena itu Islam
mendorong perempuan untuk selalu mencari bekal untuk kemajuan dirinya tanpa
mengesampingkan tabiat perempuannya. Misalnya: perempuan diwajibkan menuntut
ilmu sama halnya dengan laki-laki, juga mereka diperbolehkan mengaplikasikan
ilmunya di berbagai lapangan kehidupan selama tidak membahayakan harkat dan
martabatnya.
Akan tetapi, pasca
runtuhnya khilafah Islamiyah di Turki, umat Islam termasuk kaum muslimah
mengalami kemunduran luar biasa diberbagai lapangan kehidupan. Perempuan mulai
terambil kemulyaannya, mereka sedang dan telah teracuni dengan sistem yang
sedang menguasai mereka, sistem sekular,[1] yaitu upaya
menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan disegala bidang. Gagasan ini
menghendaki agar perempuan diberi hak-hak yang setara dengan laki-laki (gender
equality). Perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat
kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama,
beban itu antara lain sebagai ibu, hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur
urusan rumah tangga. [2]
Gagasan
tersebut masuk ke dunia Islam, negeri Mesir, pada awal abad ke-20.
Gagasan ini telah memberikan perubahan yang sangat tampak pada busana
perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan mulai terlihat dijalan-jalan,
mereka tidak lagi tinggal di dalam rumah, mereka aktif di ranah publik.[3]
Agaknya para aktivis
perempuan Indonesia juga mengalami hal yang sama, dengan menobatkan R.A Kartini
sebagai pejuang emansipasi. Mereka mengambarkannya sebagai sosok yang
bersemangat memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai hal yang sama dan
sejajar dengan laki-laki. Benarkah apa yang mereka perjuangkan sejalan dengan
perjuangan R.A Kartini?[4]
Film wanita
berkalung surban menjadi salah satu dari representasi kesalahan memahami
perjuangan R.A. Kartini, perjuangan Muslimah di era kejaan Islam serta
teks-teks ajaran Agama. Kita bisa menyaksikan perempuan disekitar kita, banyak
dari mereka yang menuntut bahkan memperjuangkan kebebasan untuk perempuan.
Kontes ratu
tercantik dunia, salah satu dari bentuk kekebasan berekspresi yang mereka
tuntut. Perempuan dengan hanya memakai pakaian bikini, adalah salah satu dari
unsur seni yang menawan, yang merupakan bagian dari industri kapitalisme, Miss
Universe dipilih untuk menjadi ujung tombak promosi produk.[5] Dan
masih banyak lagi bentuk-bentuk kebebasan yang mereka perjuangkan atas nama
kesetaran.
Langkah pemberdayaan
perempuan ini oleh aktifis gender ditekankan pada kemandirian dan kebebasan
kaum perempuan di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri dalam
finansialnya. Ketika perempuan telah mandiri, ia tidak lagi tergantung pada
laki-laki, peran domestic keluarga tidak lagi dipihak perempuan, harus ada
pembagian kerja. Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggungjawab perempuan. Yang
akhirnya tidak ada satupun baik laki-laki atau perempuan mengambil peran utama
dalam rumah tangga, karena keduanya berperan aktif diranah publik.
Bagaiman dengan
anak-anak? Bila ibu dan ayah tersita waktunya di sektor publik. Finansial akan
menyelesaikannya dengan menggaji pembantu, Negarapun dapat mengambil alih
dengan penyelenggaraan day care centre sebagaimana yang diterapkan di
Negara-negara skandinavia.
Pada titik ini,
kehancuran institusi keluarga muslim akan semakin jelas. Peran kepemimpinan
(qowamah) yang dibebankan pada laki-laki akan melemah, karena para perempuanpun
menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi bila gaji istri lebih tinggi dari suami.
Peran keibuan (ummah) dan pengelola rumah tangga (robbatul bait) akan
terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam
melahirkan generasi berkwalitas.[6]
Dalam makalah ini
kami menjelaskan perjuangan gender dan feminisme, dari awal mulanya sampai pada
masa kita sekarang, gejala-gelaja yang Nampak dalam masyarakat akibat dari
tidak adanya keadilan dan kesetaraan gender, dan bagaimana Islam menempatkan
perempuan baik dalam sektor domestik dan public, sehingga Nampak bagi kita
apakah benar Islam mendiskriminasi perempuan, mengekang perempuan, tidak
memberikan hak-haknya seperti yang mereka tuduhkan pada Islam. Juga di penutup
makalah ini ditawarkan solusi pemberdayaan perempuan, dengan harapan perempuan
terutama muslimah bisa lebih berhati-hati menerima tawaran-tawaran pemberdayaan
dan kesejahteraan perempuan yang diberikan dari konsep kesetaraan gender yang
justru berbalik menjadi eksploitasi dirinya dan waktu bersama anak-anak dan
keluarga tersita untuk memenuhi ajakan yang bersifat fatamorgana.
B.
SEKILAS TENTANG GENDER DAN FEMINIS
1.
ARTI GENDER
Kata gender secara etimologi berasal dari
bahasa Inggris gender yang berarti jenis kelamin.[7] Mansoour
Fakih dalam makalahnya ia menuliskan bahwa gender and society adalah
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Perbedaan biologis yakni
perbedaan jenis kelamin (seks) adalah kodrat tuhan, karenanya secara permanen
berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki
dan perempuan yang socially constructed yakni perbedaan yang bukan
kodrat atau bukan ciptaan tuhan, melainkan diciptakan melalui proses sosial dan
budaya yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu kewaktu,
dari tempat ke tempat yang lain, serta dari kelas ke kelas yang lain.[8]
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi,
Gender adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang
sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu, pada
masa dan waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya
setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh
Tuhan.[9]
Menurut Zaitunah Subhan: ada dua perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Pertama perbedaan kodrati, perbedaan ini
bersifat mutlak dan mengacu pada hal-hal yang bersifat biologis. Perempuan
memilliki rahim, payudara, ovarium, haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Pria
memiliki penis, dilengkapi dengan scortum dan sperma untuk pembuahan. Kedua:
perbedaan non kodrati yaitu perbedaan yang dihasilkan oleh interpretasi social
atau sering disebut dengan social contruction. Perbedaan bersifat non kodrati,
tidak kekal, sangat mungkin berubah dan berbeda-beda berdasarkan ruang dan
waktu. Perbedaan ini tidak berlaku umum, perannya bisa diubah, ditukarkan atau
menjadi nurture.[10]
Pemakaian gender dalam wacana feminis
pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakley.[11] Perbedaan
antara seks dan gender berkaitan erat dengan ciri-ciri biologis dan fisik
tertentu, termasuk kromoson dan genetika. Sementara identitas gender lebih
banyak dibentuk oleh persepsi sosial dan budaya tentang stereotip
perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan di masyarakat sekarang dianggap sebagai
sebuah simbol. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki
karakteristik “kejantaan” (masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasikan
sebagai orang yang memiliki karakteristik “kewanitaan” (feminity).
Perempuan dipersepsikan sebagai manusia yang cantik, langsing dan lembut,
sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, Anggapan seperti
ini dengan sendirinya akan memberikan peran lebih luas kepada laki-laki dan
pada saatnya laki-laki memperoleh status sosial yang lebih tinggi dari
perempuan.[12]
Dalam masyarakat seperti ini laki-laki diposisikan
sebagai makhluk yang berkuasa atau superior terhadap perempuan diberbagai
sektor kehidupan baik itu domestik maupun publik. Gender yang semula merupakan
interaksi social yang setara antara laki-laki dan perempuan bergeser menjadi
hegemoni laki-laki terhadap perempuan.[13]
Sedang istilah feminisme lebih bersifat
subjektif. Sehingga penggunaannya sering menimbulkan kebingungan dan memicu
munculnya berbagai definisi dari kata feminism.[14] Sebenarnya
setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan dan diskriminatif yang di
alami perempuan karena jenis kelaminnya dan mau melakukan sesuatu untuk
mengakhiri ketidakadilan tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai
feminis.[15]
Gerakan feminis ini muncul sebagai akibat
dari kesadaran perempuan terhadap hegemoni laki-laki terhadap mereka.
Perjuangan ini bertujuan untuk mengambil hak-hak kemanusiaan mereka untuk
menemukan kesetaran gender.
Gerakan Women’s liberation di Amerika
merupakan momentum penting dalam sejarah gerakan feminism. Usaha-usaha
terorganisasi untuk meningkatkan status kesetaraan gender pertama kali muncul
di Amerika Serikat.[16] Tahun 1800
gerakan ini mulai berkembang diberbagai Negara, peran perempuan dalam bidang
pendidikan dan ketenagakerjaan berangsur-angsur meningkat[17]. Dengan
semakin maraknya gerakan feminism di Barat sejak akhir 1960-an semakin banyak
pula perempuan yang mendapat kesempatan berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan
seperti laki-laki. Namun dibalik kemajuan perempuan dalam partisipasinya di
dunia maskulin, banyak yang mengkritik bahwa kondisi perempuan bukan menjadi
lebih baik, tetapi menjadi memburuk[18].
Kondisi perempuan yang semakin memburuk itu membuat kaum perempuan
mempertanyakan kembali kebebasan yang dulu pernah mereka miliki. Pejuang
feminism mulai mengkaji kembali ide dan gagasan yang pernah mereka perjuangkan.
Hingga pada akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an konsep gender
mulai diperjuangkan dalam tataran strategis.[19] Upaya menanamkan
nilai-nilai gender di mulai melalui konferensi-konferensi dan konggres-konggres
yang diikuti oleh perwakilan kaum perempuan dari berbagai Negara. Dari
konferensi dan konggres tersebut lahirlah ide dan gagasan baru untuk menyelamatkan
perempuan dari ketidakadilan, agar perempuan mendapatkan kembali hak-haknya,
mendorong perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender dan untuk memberdayakan
kaum perempuan.[20]
Pada 1952 digulirkan
mengenai kovensi hak politik perempuan. Di Kopenhagen 1980 diadakan konferensi
dunia UN Mid decade of women yang mengesahkan konvensi tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pada 1985 diadakan world Conference on Result on Ten Years
Woment Movement di Nairobi yang menghasilkan The Nairobi Looking Forward
Strategi for the Advecement of Woman. Di Vienna 1990 diadakan 34 th Comission
on the status of women. Tahun 1994 di adakan konferensi Beijing plat form and action (BPFA). [21]
Pada tahun
1995 inilah mulai dikenalkan wawasan gender and development (GDA) dengan
penekanan pada kesadaran tentang kesetaraan gender (gender equality) dalam
menentukan pembangunan. Ada 12 bidang yang dianggap kritis dalam BPFA yaitu:
perempuan dan kemiskinan, pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, perempuan
dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dan konflik bersenjata,
perempuan dan ekonomi, perempuan dalam pengambilan kekuasaan, mekanisme
institusional untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, perempuan dan
media, perempuan dan lingkungan serta anak perempuan.[22]
2. LANDASAN TEORI
KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Sejak tahun 1990, UNDP (United Nations
Development Report) melalui laporan berkalanya “ Human Development
Report (HDR) menetapkan indikator baru dalam menilai keberhasilan
pembangunan suatu Negara, yang sebelumnya hanya diukur dengan GDP (Growth
Domestic Product). Indikator baru tersebut dikenal dengan Human
Development Indexs (HDI) yang meliputi tiga aspek yaitu: usia harapan hidup
(life expectancy), angka kematian bayi (infant moertality Rate),
dan kecukupan pangan (food security). Pada tahun 1995, UNDP menambah
konsep HDI dengan konsep kesetaraan gender (gender equality) dalam
mengevaluasi keberhasilan pembangunan suatu Negara.
Perhitungan yang dipakai adalah Gender
Development Index (GDI) yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah pendapatan, serta Gender
Empowerment Measure (GEM) yang mengukur kesetaraan dalam partisipasi
politik dan dalam sector lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep
kesetaraan sama rata. Misalnya, apabila rata-rata laki-laki dan perempuan
sama-sama berpenghasilan dua juta rupiah setahun, menerima pendidikan sama-sama
sepuluh tahun atau proporsi yang aktif dalam politik sama-sama 20 %, maka angka
GDI dan GEM adalah 1, atau telah terjadi perfect equality. Konsep
kesetaraan kuantitatif (50/50) inilah yang diidealkan oleh UNDP, sehingga
lembaga ini mengharapkan seluruh Negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang
demikian[23]
Menurut Ratna Megawangi, dalam bukunya
membiarkan berbeda, landasan teori yang tepat untuk menempatkan kesetaraan
gender 50/50 terdapat dalam paradigma sosial konflik. Paradigma ini dipelopori
oleh Karl Marx dan friedrich Engels. Engles menganalogikan hubungan suami istri
dalam keluarga sebagai hubungan kelas kapitalis dan proletar. Collins (1975)
yang menerapkan teori dalam keluarga dan masyarakat dalam pola relasi
sosial. Marx-Engels menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat. Kaum laki-laki diibaratkan sebagai kaum borjuis dan perempuan sebagai
kaum proletar yang tertindas baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual dan
pembagian property dalam keluarga. Selanjutnya ia mengatakan bahwa keluarga
menjadi institusi untuk melanggengkan sistem patriarkat, dimana kedudukan suami
istri dan anak-anak tetap pada posisi vertikal dan dianggap sebagai struktur
ideal.[24]
Sistem patriarkat ini ditolak oleh para
feminis dan mereka berusaha mewujudkan sistem yang lebih egaliter. Dalam
pandangan mereka sistem patriarkat ini dapat diruntuhkan dengan transformasi
social yaitu perobakan sistem social yang ada, yaitu wanita perlu masuk ke
dalam dunia laki-laki agar kedudukan dan statusnya setara dengan laki-laki,
untuk itu wanita perlu mengadopsi kualitas maskulin agar mampu bersaing dengan
laki-laki.
3.
PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Dalam uraian diatas dapat difahami adanya
pergeseran relasi gender yang menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan gender
tersebut telah termanifestasi dalam berbagai bentuk, diantaranya[25]:
a.
Terjadinya Marginalisasi (peminggiran).
Peminggiran
banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya
mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan
kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena
sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat
terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber
keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu
pengetahuan (teknologi).[26]
b.
Terjadinya Subordinasi (penomorduaan)
Anggapan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih utama di banding jenis kelamin
lainnya. Sudah sejak dulu ada sebuah pandangan yang menempatkan kedudukan dan
peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi,
tafsiran agama maupun birokrasi yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi
dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai yang
membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan.[27]
c.
Adanya pandangan Stereotype.
Pelabelan
negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang
berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu
jenis kelamin (perempuan). Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan
fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan
domestik. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila
perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan
diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun
standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum
perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam
“kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki
sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang
dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung
tidak diperhitungkan.[28]
d.
Berbagai bentuk tindak kekerasan (violence) terhadap perempuan
sebagai akibat perbedaan gender.
Banyak sekali terjadi kekerasan yang dialami
perempuan, mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, juga
kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual (sexual
Harassment) dan penciptaan ketergantungan.[29]
e.
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda
yang harus dilakukan oleh Perempuan.
Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis
kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai
observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam
rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja
juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. [30]
Semua manifestasi ketidakadilan tersebut saling
terkait dan mempengaruhi, dan ini tersosialisasi kepada laki-laki dan perempuan
yang lambat laun akhirnya laki-laki dan perempuan terbiasa dan akhirnya percaya
bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat.
C. GAMBARAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Di luar agama
Islam banyak kaum perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya.
Perempuan Nasrani misalnya, harus berjuang keras agar pendapat mereka didengar
dan lebih lanjut perjuangan ini menyebabkan perubahan yang ekstrim dalam
teks-teks bible sehingga tidak terkesan sexist dan lebih dapat diterima oleh
kaum perempuan.[31]
Sepanjang abad
ke-19 perempuan Inggris tidak mendapatkan hak waris dan tidak diperbolehkan
menyimpan penghasilannya, tidak mempunyai hak pilih sampai pada tahun 1975
mereka menuntut hak mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki.[32]
Lain halnya dengan Islam. Agama yang mulia ini telah menempatkan perempuan
sebagai mitra laki-laki bukan makhluk nomor dua dan telah memberi perempuan
hak-haknya secara adil sehingga seorang muslimah tidak perlu lagi
meminta, menuntut bahkan memperjuangkannya. Bahkan apabila seorang muslimah
menginginkan surga, akan mudah ia raih dari pada kaum laki-laki.
Dialog yang
terjadi antara shabiyah Asma’ binti Yazid dengan baginda Rasulullah SAW,
menjadi representasi dari teraihnya surga bagi perempuan hanya dengan
melaksanakan tanggungjawabnya di dalam rumah tangga dan selalu taat pada
suami. Asma’ berkata: wahai Rasulullah SAW bukankah engkau diutus oleh Allah
untuk kaum laki-laki dan wanita, kenapa sejumlah syariat berpihak kepada kaum
pria, mereka diwajibkan jihad kami tidak, malah kami mengurus harta dan
anak-anak mereka dikala mereka sedang jihad, mereka diwajibkan sholat jum’at
kami tidak, mereka diperintah mengantar jenazah sedangkan kami tidak,
Rasulullah SAW tertegun atas pertanyaan perempuan ini, sambil berkata kepada
para shahabat, “ perhatikan betapa bagusnya pertanyaan perempuan ini, Beliau melanjutkan:
wahai Asma’! sampaikan jawaban kami kepada seluruh perempuan dibelakangmu,
yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada
suami, kalian dapatkan semua pahala kaum laki-laki itu”. (Diterjemahkan secara
bebas, HR. Ibnu Abdil Bar).[33]
Islam telah
menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat, dan jika difahami dengan
benar teks-teks al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasulullah SAW, maka kita temukan
bahwa Islam memberikan keistimewaan untuk perempuan dan jika di praktekkan
dengan benar, perbedaan gender merupakan sunatullah yang bertujuan untuk
menjaga keseimbangan kehidupan.
Nasaruddin Umar
mengatakan: ada lima prinsip kesetaraan dalam Al-Qur’an yaitu: sama-sama
sebagai hamba, sama-sama sebagai kholifah, sama-sama menerima perjanjian
primordial, terlibat secara praktis dalam drama kosmis dan berpotensi meraih
prestasi.[34]
Posisi perempuan yang digambarkan dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.
Dalam kehidupan berumah tangga, perempuan sebagai pendamping suami.
Al-Qur’an
menegaskan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan adalah satu (min
nafsin wahidatin)[35].
Asal penciptaan yang sama inilah, keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Dalam kehidupan berumah tangga laki-laki sebagai pemimpin dan
bertanggungjawab terhadap apa yang dibawah kepemimpinannya.[36]
Kata Qowwamah[37]
yang berarti pemimpin sering diinterpretasikan sebagai penindasan dan
ketidakadilan terhadap perempuan. Tugas kepemimpinan laki-laki (suami) dalam
ayat tersebut hanya terbatas pada institusi keluarga, karena dalam pandangan
Islam keluarga adalah titik awal yang mempengaruhi semua fase perjalanan hidup
manusia dan merupakan unit pembangunan pertama.[38]
Makna
kepemimpinan disini tidak untuk mendholimi atau menindas satu sama lain, tetapi
agar perkara tersebut dapat berjalan dengan lancar. Adanya tanggung jawab
kepemimpinan pada laki-laki adalah peran yang dibebankan Allah SWT sebagaiman
Allah menetapkan peran melahirkan, pengasuhan dan pemeliharaan generasi ada
pada perempuan. Masing-masing peran dibebankan sesuai dengan potensi dan
kelebihan yang dimilki.[39]
Kepemimpinan
laki-laki tersebut juga tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi,
termasuk dalam kepemilikan harta pribadi dan pengelolaannya baik itu harta yang
didapatkan dari hak waris atau dari usahanya sendiri walaupun tanpa persetujuan
suami atau wali. Oleh karena itu mahar dalam Islam harus dibayar untuknya
sendiri, bukan untuk orang tuanya dan tidak boleh diambil oleh suami. Dan
sebagai bukti kesempurnaan pengelolaan harta pribadinya setelah menikah adalah
perempuan berhak untuk tetap menggunakan nama keluarganya sendiri dibelakang
namanya.[40]
Perhatian Islam
terhadap perempuan (istri) tidak berhenti sampai disini. Perlakuan dan
sikap yang baik terhadap perempuan disejajarkan oleh Rasulullah SAW dengan
kesempurnaan Iman seseorang.[41]
Negara
Skandinavia adalah Negara yang menurut UNDP (United Nations Development
Report) berhasil melaksanakan konsep gender (gender equality) 50:50, justru
sebaliknya, di sana terjadi banyak kerusakan struktur sosial, angka perceraian
meningkat 100% dalam waktu 20 tahun, presentasi anak yang dilahirkan diluar
nikah melebihi 50%, kriminalitas meningkat 400%(1950-1970) Juga di negera
Amerika terdapat rumah pengasingan untuk perempuan-perempuan yang ditinggalkan
suami-suami mereka dalam menikmati perempuan yang lain. Rumah tersebut memang
terlihat menarik dari bagunannya , karena terdapat lukisan karya seni, sehingga
tidak tampak dari luar bahwa bangunan tersebut adalah karantian buat perempuan.[42]
Dari contoh dua
Negara di atas, menggambarkan pada kita bahwa konsep kesetaraan yang mereka
tawarkan terbukti tidak bisa menjamin kebahagian
perempuan. Dengan demikian Islam telah menumbangkan
sistem sosial yang tidak adil terhadap perempuan dengan sistem yang adil.
Sehingga dalam ajaran Islam tidak memungkinkan untuk memiskinkan (marjinalisasi),
diskriminatif dan subordinasi terhadap perempuan.
2.
Dalam kehidupan bermasyarakat, perempuan adalah mitra laki-laki.
Tugas pokok
seorang perempuan untuk menjalanankan peranannya sebagai ibu dari anak-anaknya
dan sekaligus pengatur rumah tangganya tidak berarti membatasi aktivitasnya
hanya pada ini saja. Akan tetapi dalam saat yang bersamaan Islam memberikan
peranan kepada perempuan dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat.
Islam
membolehkan perempuan untuk bekerja di luar rumah, baik dalam mendukung
pembangunan masyarakat atau untuk menopang ekonomi keluarganya.[43]
Tetapi sekalipun perempuan boleh bekerja diluar rumah, dia harus tetap
memperhatikan bahwa aktivitasnya diluar rumah tidak melalaikannya pada tugas
pokoknya, dia juga harus melakukannya dalam keadaan tetap terikat dengan dengan
hukum-hukum syara’.[44]
Contoh
yang sekarang dianggap sebagai lapangan pekerjaan, yang menawarkan jutaan
bahkan miliaran rupiah, menjadikan perempuan baik itu anak-anak atau dewasa
berebut. Adalah miss universe ajang kontes kecantikan, yang memamerkan tidak
hanya sekedar intelektualitas perempuan, melainkan pamer keindahan tubuh
perempuan adalah tujuan pokoknya. Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh
bapak Daoed Yoesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan di tahun 1978:
“Pemilihan
ratu-ratuan seperti yang dilakukan sekarang adalah suatu penipuan, disamping
pelecehan terhadap hakikat keperempuanan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain
dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu, perusahaan kosmetik, pakain
renang, rumah mode, salon kecantikan dengan mengeksploitasi kecantikan yang
sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitive dan nafsu elementer
laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah”.[45]
Dalam kehidupan
sosial politik, Islam memberikan peluang sama pada laki-laki dan perempuan
untuk ikut berperan dalam masyarakat. Islam memberikan hak memilih pemimpin
atau wakil yang akan menyampaikan aspirasinya, atau dia menjadi wakil orang
lain.[46]
Seperti yang dilakukan shahabiyah Ummu Ammarah binti Kalb dan Asma’ binti Amr
ibn ‘Adi, dalam peristiwa baiat ‘Aqobah pertama tahun ke-13 kenabian. Mereka
berdua membaiat Rasulullah SAW untuk selalu tunduk pada perintahnya, dan
melindunginya.[47]
Islam juga
mewajibkan kepada perempuan untuk melakukan koreksi terhadap pemerintah, karena
aktivitas ini merupakan aktivitas amr ma’ruf nahi munkar.[48] Dan
Islam juga membolehkan perempuan untuk menyampaikan pendapatnya, seperti yang
dilakukan Kholwah binti Tsa’labah ketika menyampaikan tindakan suaminya kepada
Rasulullah SAW.[49]
Tegasnya, banyak
peran positif yang dapat dilakukan perempuan tanpa harus keluar dari kodratnya
sebagai perempuan. Tentu saja dia harus pandai mengatur waktunya sehingga
aktivitasnya di masyarakat tidak mengganggu bahkan mengabaikan tanggungjawab
utamanya sebagai Ummun wa Robbatul Bait (Ibu dan pendidik keluarganya).
Dan Islam telah
mempunyai konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada diskriminasi
apapun, yang membedakan antara keduanya dihadapan hukum syara’ adalah kualitas
keimanannya.[50]
3.
Perempuan sebagai pencetak generasi berkwallitas.
Dalam syair Arab
disebutkan: ”Ibu adalah madrasah pertama, yang apabila kamu mempersiapkan
denngan baik, berarti kamu mempersiapkan generasi yang baik akarnya, ibu adalah
guru dari sekian guru yang penting, pengaruhnya menjangkau seluruh dunia.
Generasi
yang berkwalitas adalah menjadi harapan ummat. Yaitu generasi yang mampu
membangkitkan dan mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa fajrul Islam.
Perempuan
sebagai ibu dan robbatul bait dituntut untuk memelihara dan mendidik anaknya
semenjak masih dalam kandungan sampai anak menjadi dewasa dan mandiri, mampu
untuk menentukan sikapnya dan mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk.
Bukan berarti laki-laki (suami/ayah) terlepas dari tugas tersebut.
Dalam masa
inilah peran ibu menentukan, karena baik buruknya anak di kemudian hari
ditentukan oleh benar salahnya pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua,
dalam hal ini yang sangat berperan adalah ibu.[51]
Ketika orang tua memahami bahwa anak adalah amanah Allah, mereka akan
senantiasa memilih bentuk, cara serta lingkungan pendidikan dan pergaulan pada
umumnya bagi anak-anak mereka, mereka tidak hanya berorientasi ke masa depan
dengan makna sempit (dunia) serta material semata, tetapi lebih jauh dan lebih
penting adalah orientasi ukhrawi.[52]
Karena orang tua
terutama ibu bukan hanya sekedar sebagai induk buat anak-anak yang membesarkan
mereka kemudian melepaskannya untuk hidup mandiri. Namun misi keduanya adalah
sangat agung dan berat yaitu mendidik dan membina mereka hingga memiliki
karakter ahli surga.
Perempuan (ibu)
adalah pencetak generasi khairu ummah. Ia melahirkan, mengasuh, mendidik,
membina….bukan pekerjaan yang mudah dan murah. Bukan pekerjaan yang dapat
disempurnakan tanpa meningkatkan mutu diri. Mengawal proses tumbuh kembang
anak, menuntunnya untuk mengenal Allah Tuhan yang menguasai jiwanya dan
mentaati perintahNya, membimbingnya agar mampu mengatasi persoalan hidup yang
kain komplek sesuai dengan aturan Allah SWT. Peran yang sangat menentukankan
warna generasi berikutnya.
Seorang feminis,
Alice Rossi, mengubah pendapatnya. Tahun 1960 berpendapat bahwa stereotyp
perempuan bukan karena nature (alami) melainkan adanya sosialisasi, kemudian
tahun 1978 berpendapat, perbedaan peran gender bukan karena faktro sosialisasi
melainkan bersumber pada keragaman antarsex yang mempunyai tujuan fundamental
untuk kelangsungan hidup manusia. Alice juga berpendapat bahwa tidak ada satu
masyarakat pun yang dapat menggantikan figur ibu sebagai pengasuh, kecuali
dalam kasus-kasus yang jarang terjadi di mana ada perempuan tertentu terdeviasi
dari kecenderungan sifat normalnya.[53]
Sungguh
tiga posisi yang dimiliki perempuan ini, menempatkan perempuan benar-benar
menjadi mar’ah sholehah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai perhiasan
dunia. Namun banyak sekali kaum perempuan yang tidak bisa dan atau kurang
memahami Islam sebagai aturan kehidupannya dengan baik dan benar dikarenakan
dua hal, seperti yang dikatakan oleh Prof. Hasbi As-Shidiqik: pertama: kaum
perempuan intelektual tidak mengetahui dengan jelas dan sempurna tujuan-tujuan
Islam, tidak merasakan kelebihan dan keutamaan Islam karena mereka mengetahui
hanya dari gambaran-gambaran kehidupan yang ada sekarang. Kedua: pihak yang
mendasarkan perjuangannya pada Islam tidak sanggup membuktikan keindahan Islam
yang dapat memuaskan pihak lain dalam realitas keseharian.[54]
D.PENUTUP
Allah
SWT menciptakan dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan, memberi keduanya
hak dan kewajiban. Manusia dikaruniai potensi akal (kemampuan berfikir)
yang sama, mereka juga mempunya potensi hidup yang sama yang terdiri dari
kebutuhan jasmani dan naluri. Naluri ini meliputi; naluri beragama, naluri
mempertahankan diri dan naluri melestarikan jenis manusia. Akal, kebutuhan
jasmani dan naluri pada manusia bersifat fitrah atau sering dikatakan sebagai
sifat kodrati yang melekat pada penciptaan manusia.
Selain
kesamaan dalam penciptaan, laki-laki dan perempuan juga memiliki
kekhususan-kekhususan sesuai dengan jenis masing-masing. Baik itu perbedaan
yang bersifat fisik seperti struktur tubuh, organ reproduksi dan lain-lain,
atau yang bersifat psikis.
Untuk itu
sungguh sangat tepat apabila Islam menempatkan hak dan kewajiban yang sama pada
laki-laki dan perempuan dan menempatkan kekhususan hak dan kewajiban
berdasarkan jenis masing-masing. Perempuan diberi tanggung jawab utama sebagai
ibu dan pengelola rumah tangga, dengan perannya yang sangat besar disektor
domestik, sementara laki-laki diberi beban sebagai kepala rumah tangga yang
melindungi, mengayomi dan memenuhi kebutuhan sektor domestik.
Sebagai manusia
laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama untuk berkiprah disektor
publik dalam rangka meraih kemaslahatan bersama dan menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar di masyarakat. Semua ini akan menjamin terwujudnya kehidupan
bermasyarakat yang saling melengkapi, harmonis dan jauh dari ketimpangan.
Agar perempuan
dapat melaksanakan tugas dan perannya dengan baik dan sempurna, Islam
memberikan perintah agar selalu meningkatkan kwalitas ilmu yang dibarengi
dengan iman. Juga diperlukan menjadikan daurah sebagai gerakan nasional hingga
tingkat akar rumput (grass root) terkait hakikat KKG, mengaktifkan para aktivis
perempuan Islam ditengah masyarakat kecil, Meningkatkan solidaritas internal
kaum perempuan, serta harus digelorakan terus perjuangan untuk menegakkan
Syariah dan penolakan terhadap sekularisme.
Jika kita
kembalikan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan pada syariat Islam,
manusia tidak akan lagi memperjuangkan bahkan menuntut hak dan keadilan dalam
bermasyarakat, karena Islam telah memberikannya jauh sebelum kaum feminis
memperjuangkan kesetaran gender.
Terakhir,
makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik. Terima kasih
dan Walluhu a’lam bis showab…..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qu’an Al-karim
Aliansi Penulis pro Syari’ah, Keadilan dan kesetaraan gender, tipu daya
penghancuran keluarga, 2007.
Dr. Mansour Fakih, Analisa gender dan transformasi
Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1983.
Ismail Adam Patel, Perempuan, Feminism dan Islam, Pustaka Thoriqul Izzah,
2005
Imad
Zaki Al-Barudi, Tafsir wanita, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, Edisi Indonesia,
2003
Imam
Abi Zakariya bin Syarof An-Nawawi, Riyadlus Sholihin, terjemahan, Pustaka
Imani, Jakarta 1996.
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
bahasa Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta 1983
Kadarusman, M.Ag, Relasi Gender dan
Feminism, Kreasi Wacana, Jogjakarta 2005
Majalah Al-Wa’ie, Media politik dan Dakwah
Ratna Megawangi, Membiarkan berbeda, sudut pandang baru tentang relasi gender,
Mizan, Jakarta, 1999.
Membincang Feminism diskursus gender prespektif Islam, Risalah Gusti,
Surabaya 2000
Siti Juwariyah, Tesis: Kesetaraan gender dan seks serta pengaruhnya dalam
pendidikan Islam, Universitas Muhammadiyah Surabaya, 2005.
Tim Pemberdayaan Perempuan, HTI, Poligami mubah mereka resah, tanpa tahun.
Tabloid Media Ummat, memperjuangkan kehidupan Islam.
Shofiyur Rohmah Mubarrokfury, Arrohiqul Mahtum, Riyadl
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Jakarta,
2007
[4]Lihat
majalah al-wa’ie no 92 tahu VII dalam rubrik opini, Kartini bukan ‘pejuang
gender’, Kartini adalah sosok yang berani menentang adat-istiadat yang kuat
dilingkungannya, dia mengganggap manusia itu adalah sederajat sehingga tidak
seharusnya adat-istiadat membedakannya berdasarkan asal-usul keturunannya. Pada
awalnya dia mengangungkan kehidupan liberal di eropa yang tidak dibatasi
tradisi seperti di Jawa, namun setelah mengenal Islam justru dia mengkritik
peradaban masyarakat Eropa dan menyabutnya sebagai kehidupan yang tidak layak
disebut sebagai peradaban. Salah satu suratnya kepada Abendanon, 27 oktober
1902: “sudah leawt masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat eropa itu
benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah
ibu sendiri menganggap masyarakat eropa itu sempurna? Dapatkan ibu menyangkal
bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakt ibu terdapat banyak hal-hal
yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
[6] Ummu Fathimah
NJL, jalan panjang menuju KKG, dalam keadilan dan kesetaraan gender tipu daya
penghancuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah, 2007, hal.17-18
[7] .
John M. Echols dan Hassan Shadily, kamus bahasa Inggris-Indonesia, Jakarta
Gramedia, 1983 hal. 265.
2. DR. Mansour
fakih, Analisa gender dan transformasi sosial, Pustaka pelajar Yogyakarta 1997
hal 7.
[10]
Siti Djuwariyah, tesis: Kesetaraan seks dan gender serta pengaruhnya dalam
pendidikan Islam, 2005, hal.20.
[11]
Ruhaini Dzuhayatin, Siti, MA. Gender dalam prespektif Islam (study terhadap
hal-hal yang menguatkan dan melemahkan gender dalam Islam dalam Membincang
feminism diskursus gender perspektif Islam, Risalah gusti, Surabaya cet. 2:
2000, hal:231.
[14]
Ismail Adam Patel, Perempuan, feminism dan Islam, Pustaka Thoriqul Izzah 2005
hal 96, Belia menyimpulkan dari beberapa definisi diantaranya
adalah:*Kelompok-kelompok yang berjuang untuk mengubah kedudukan kaum perempuan
atau berbagai pemikirantentang kaum perempuan,*Sebuah doktrin yang menyuarakan
kesetaraan hak-hak social dan politikkaum perempuan dengan laki-laki, * juga
bisa bermakna upaya untuk membuat kaum perempuanmempunyai kesempatan dan
hak-hak istimewa sebagaiman yang diberikan masyarakat kepada kaum laki-laki, *
Kaum feminis tidak berjuang hanya untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum
laki-laki, tetapi juga harus berusaha menghilangkanperbedaan jenis
kelamin….Konsep keluarga biologis yang tidak adil harus dipatahkan, demikian
pula konsep kekuatan psikologis yang selama ini menjadi dalih superioritas kaum
laki-laki.
[18]
Ratna Megawangi, Perkembangan teori feminism masa kini dan mendatang serta
kaitannya dengan pemikiran dalam Membincang feminism, diskursus gender
perspektif Islam, Rislah gusti, Surabaya 2000, cet. 2, hal 209
[19]
Ratu Erma Rahmayanti, KKG kebutuhan atau konspirasi, dalam Keadilan dan
kesetaraan gender tipu daya penghancuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah
2007 hal, 12
[22]
. Ummu Fathimah NJL, Jalan panjang menuju KKG dalam Keadilan dan
kesetaraan gender tipu daya penghancuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah
2007, hal 15
[23] .
Ratna megawangi, membiarkan berbeda sudut pandang baru tentang relasi gender,
mizan,1999 hal.23-24
[29] DR. Mansour
Fakih, Posisi kaum perempuan dalam Islam Tinjauan dari analisa gender, dalam
buku membincang feminism diskursus gender perspektif Islam, Risalah Gusti
Surabaya Cet.II 2000, hal. 48
[32]
Lathifah Musa, Ide yang absurd, dalam Keadilan dan kesetaraan gender tipu
daya penghancuran keluarga, Alinsi Penulis pro Syariah,2007, hal.
50.
[36]
Lihat Riyadlus Sholihin jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, edisi Indonesia
1996, hal.303 (Hr. Bukhori dan Muslim), Rasulullah SAW bersabda: setiap dari
kalian adalah pemimpin, dan bertanggungjawab terhadap apa yang ia pimpin,
setiap laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertangungjawab
terhadap apa yang ia pimpin, Perempuan (istri) adalah pemimpin dalam rumah
suaminya dan bertanggungjawab terhadap apa yang ia pimpin.
[37] QS
An-Nisa: 34, Lihat Dr. Qurais Shihab, Membumikan Al-qur’an, Mizan, Jakarta 2007
hal. 274, Laki-laki adalah pemimpin perempuan….sebagai bukti tidak bolehnya
perempuan terlibat dalam persoalan politik………Pandanga ini tidak sejalan
dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat.
[41] .
Lihat Riyadlus Sholihin jilid I, Pustaka Amani, Jakarta, edisi Indonesia
1996, hal. 299, “ Rasulullah SAW bersabda: orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya. Dan orang yang paling
baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya”, hadis
ini diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi, dia berkata bahwa kedudukan hadis tersebut
adalah baik dan bias masuk pada tingkatan shohih.
[43] .
Ummu Nayla, Pemberdayaan perempuan perspektif Islam sebuah solusi, dalam buku
Keadilan dan kesetaraan gender tipu daya penghacuran keluarga, Aliansi penulis
pro Syariah 2007, hal.119
[44] QS:
Al-Ahzab:33, perempuan diperbolehkan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya
dengan syarat, yaitu: dengan izin wali atau orang tua dan suami, menutupa
auratnya, menjaga pandangannya dan tidak berikhtilath (bercampur baur).
[47] Lihat, Shofiyur Rohman Mubarokfuri,
Ar-rohiqil Mahtum, Maktabah nur wa hidayah, Riyadl 2007 hal, 133 bab, bai’ah
Aqobah pertama
[49] Lihat Asbabun Nuzul QS: Mujadalah: 1,
Asbabun Nuzul edisi 2 Indonesia, Cv. Penerbit Diponegoro Bandung 2002, hal. 545
[51] Ummu Nayla, Pemberdayaan perempuan
perspektif Islam sebuah solusi, dalam buku Keadilan dan kesetaraan gender tipu
daya penghacuran keluarga, Aliansi penulis pro Syariah 2007, hal.117
[53] Ratna Megawangi, Membiarkan berbeda,
sudut pandang baru tentang relasi gender, Mizan 1999 hal 132.
[54] Ummu Nayla, Pemberdayaan perempuan
prespektif Islam sebuah solusi dalam keadilan dan kesetaraan gender, tipu daya
penghancur keluarga, Aliansi penulis pro Syariah, 2007 hal. 122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar