Makrufi
Muahmmad
---
---
IAI Nurul Jadid
HUKUM
SEWA-MENYEWA BARANG YANG RUSAK MENURUT PANDANGAN ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Era globalisasi telah banyak meraung-raung didunia islam pada
saat ini khususnya di Indonesia ,
budaya-budaya barat yang hampir lepas dari rel syariat agama Islam telah banyak
berpengaruh dalam tatanan kehidupan social masyarakat Islam. Dan sering pula
budaya-budaya barat yang telah dipraktekan didunia Islam yang pada hakekatnya
jauh dari konsep fiqh Islam yang tujuannya adalah mengatur hokum-hukum islam.
Ijarah merupakan bentuk muamalah yang sering kita dengar dengan
sebutan sewa-menyewa, namun sejauh ini banyak masyarakat pada umumnya tidak
memahami secara benar dan rinci bagaimana mualamalah dalam konteks ijarah
(sewa-menyewa) yang telah diatur oleh syariat Islam.
Akad ijarah (sewa-menyawa) tak pelak sudah terpengaruh oleh
peradaban barat barat yang tanpa memperhatikan mana yang diuntungkan dan mana
yang dirugikan, sehingga sering terjadi pertengkaran dan perdebatan pada saat
akad sewa-menyewa telah berahir karenakan adanya keuntungan sepihak.
B. Rumusan
Maslaah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka kami membuat Makalah
yang disusun penulis ini terbagi menjadi :
1. Bagaimana
hukum barang sewa yang rusak ditangan penyewa menurut islam?
Tidak ada
tuntutan selama barang itu masih ditangan penyewa,
2. Siapa
yang harus dibenarkan jika terjadi perbedaan?
Pemilik
C. Tujuan
Penulisan
1. untuk
mengetahui hokum barang sewa yang rusak ditangan penyewa menurut Islam
2. untuk
mengetahui kebenaran jika terjadi perbedaan
D. Manfaat Penulisan
1. Penulis
Sebagai
tambahan wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang selama ini masih belum
sempurna, serta ingin mengembangkan potensi akademik khususnya bagi penulis
sendiri
2. Lembaga Institut
Agama Islam
Sebagai
sumbangan analisis ilmiah terhadap seluruh umat Islam yang hususnya institusi
lembaga pendidikan Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo sebagai hazanah
keilmuan.
E. Sistematika
Penulisan
Pada
Untuk mendapatkan gambaran singkat yang jelas dan menyeluruh tentang isi makalah
tentang ijarah, secara singkat dan jelas dapat dilihat dalam sistematika
pembahasan di bawah ini, dimana dalam makalah ini dapat dibagi menjadi empat
bab, antara lain:
BAB I : Pendahuluan.
Bab ini
merupakan bagian dari pendahuluan dari isi makalah ini yang terdiri dari latar
belakang masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika
pembahasan.
BAB II : Pembahasan
Dalam bab ini berisi
tentang kajian teori yaitu pembahasan tentang sewa-menyewa (ijarah) yang
secara global. Yang kemudian penulis lengkapi dengan analisa dari teks
tersebut.
BAB III :
Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan akhir
dari pembahasan yang berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan data-data
yang telah dianalisis dan saran-saran sebagai bahan pertimbangan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sewa Menyewa
Sewa menyewa dalam bahasa arab di istilahkan dengan Al ijarah.
Menurut pengertian hukum islam, sewa menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[1]
Dari pengertian diatas dilihat bahwa yang dimaksud dengan sewa
menyewa adalah pengambilan manfaat sesuatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya
sama sekali tidak berkurang. Dengan perkataan lain terjadinya sewa menyewa yang
berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut.
Didalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut mu’ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mu’tajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah.
Didalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan disebut mu’ajir. Sedangkan orang yang menyewa disebut mu’tajir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan ma’jur, dan uang sewa atau imbalan atas pemakaiaan manfaat barang disebut ajrah atau ujrah.
Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan
perjanjian yang bersifat konsensual (kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai
kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung. Apabila akad sudah
berlangsung, pihak yabg menyewakan (mu’ajir) wajib menyerahkan barang (ma’jur)
kepada penyewa (musta’jir). Dengan diserahkannya manfaat barang / benda maka
penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya (ujarah).
Al-Ijarah terambil dari kata al-Ajr yang artinya adalah
pengganti atau upah. Allah berfirman yang artinya :“… jika kamu mau, niscaya
kamu mengambil upah untuk itu… “(Qs. Al-Kahfi 18 : 77 )[2]
Defenisi ijarah dalam syara’ adalah akad atas manfaat yang
dibolehkan, yang berasal dari benda tertentu atau yang disebutkan cirri –
cirinya, dalam jangka waktu yang diketahui, atau akad atas pekerjaan yang
diketahui, dengan bayaran yang diketahui.
Menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda –
beda, antara lain sebagai berikut :[3]
1. Menurut
Hanafiyah:
عَقْدًُ عَلىَ اْ لمَنَا فِعِ بِعَوْضٍ
“Akad atas suatu
kemanfaatan dengan pengganti”.
2. Menurut
Malikiyah:
تَسْمِيَةُ التَّعَا قُدِ عَلىَ مَنْفَعَةِ
الآدَمِىِّ وَبَعْضِِ المَنْقُوْلَا نِ
“Nama
bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian
yang dapat di pindah kan ”.
3. Menurut
Al-syarbini al-khatib:
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعَوَضٍ بِشُرُوْطٍ
“Pemilikan
manfaat dengan adanya imbalan dan syarat”.
4. 4.
Menurut Asy-syafi’iyah:
عَقْدًَُ عَلىَ مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ
مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
“Akad
atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”.
Berdasarkan
defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar
sesuatu dengan ada imbalannya.
B. Syarat
Rukun Sewa Menyewa
1. Adapun
Syarat Sewa Menyewa adalah :[4]
a. Yang
menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridla
b. Barang/sesuatu
yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat dinikmati
oleh yang menyewa dan kadar nya jelas itu misalnya: Rumah disewa 1 tahun, Taksi
disewa dari yogya sampai solo 1 hari, atau seorang pekerja disewa mengerjakan
membuat pintu besi ukuran sekian meter
c.
Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalny:
Rumah Rp. 100.000,- sebulan, dibayar tunai atau angsuran
d. Yang
menyewakan adalah pemilik barang sewa, walinya/orang yang menerima wasiat
(washiy) untuk bertindak sebagai wali
e.
Ada kerelaan kedua belah
pihak yang menyewa kan dan penyewa yang
digambarkan paa adanya ijab Kabul
f.
Yang disewakan ditentukan barang atau
sifat-sifatnya
g. Manfaat
yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara’
h. berapa
lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas
i.
Harga sewa yang harus dibayar bila berupa uang
ditentukan berapa besarnya
j.
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang
disewa, tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari
ketaatan tersebut adalah untuk dirinya
2. Adapun
Rukun-rukun Sewa-menyewa
Mu’jir
dan mus’tajir yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah
dalam hal upah mengupah. Mus’tajir adlah orang yang memberi upah untuk
melakukan sesuatu , sedangkan Musta’jir adalah orang yang menyewa sesuatu.
Disyaratkan kepada mu’jir dan mus’tajir adalah orang yang baliqh,berakal,cakap
melakukan tasharrup (mengendlikan harta),dan saling meridhoi.[5]
Ujrah
(upah/harga sewa ), disyratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa menyewa ataupun upah mengupah barang yang disewakan atau sesuatu
yang dikerjakan.
3. Syarat
Barang yang Disewakan
a. Tidak
semua harta benda dapat diakadkan ijarah, benda benda tersebut haruslah
memenuhi persyaratan berikut :
b. Manfaat
dari objek harus diketahui secara jelas . hal ini dapat diketahui dari
pemeriksaan, atau pemilik memberikan informasikan secara transparan tentang
kualitas manfaat barang
c.
Objek ijarah dapat diserah terimakan dan
dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi
fungsinya. Tidak dibenarkan menyewakan barang yang masih ada pada pihak ketiga.
d. Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’
d. Objek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’
d. Objek
yang disewakan adalah manfaat langsung dari benda tersebut, tidak dibenarkan
menyewakan manfaat benda yng bersifat tidak langsung . seperti menyewakan pohon
untuk diambil buahnya, menyewakan ternak untuk diambil susunya, dan lain – lain
e.
Harta yang menjadi objek haruslah harta yang
bersifat isti’maly, yakni benda yang dapat dimanfaatkan berungkali tanpa
merusak zatnya. Karenanya menyewakan benda yang bersifat istihlaki (harta yang
berkurang atau rusak zatnya karena pemakaian) tidak sah ijarah terhadapnya.
Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah :” setiap harta benda yang dimanfaatkan
sedang zatnya tidak mengalami perubahan, boleh dijadikan ijarah, jika
sebaliknya maka tidak boleh “
4. Tujuan
Sewa Menyewa
Adapun
tujuan sewa menyewa adalah untuk mengambil manfaat dari apa yang disewa
tersebut dengan maksud tertentu dan mubah setelah disewa maka akan memberi
pengganti kepada yang menyewakan.[6]
C. Ketentuan
Untung rugi dalam Sewa Menyewa Barang[7]
Bila barang sewa mengalami rusak akibat penggunaan yang
melampaui kapasitasnya, penyewa dapat di tuntut ganti kerugian atas kerusakan
barang sewa itu. Berbeda halnya bila barang sewa mengalami rusak, padahal
penggunaannya telah disesuaikan dengan kapasitasnya, maka penyewa tidak dapat
dituntut kerugian apapun atas kerusakan barang sewa itu.
Adapun biaya-biaya yang diperlukan untuk memelihara atau
memperbaiki kerusakan barang sewa menjadi tanggungan yang menyewakan. Bila
mustakjir mengeluarkan biaya-biaya pemeliharaan atau perbaikan atas kerusakan
yang terjadi pada barang sewa dengan seizin yang menyewakan maka ia berhak
minta ganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan itu. Tetapi bila ia mengeluarkan
biaya-biaya dimaksud tanpa seizin yang menyewakan, ia berhak minta ganti,
kecuali bila biaya tersebut amat mendesak perlu dikeluarkan dengan segera guna
menjaga keselamatan barang sewa.
Apabila barang sewa mengalami kerusakan ditangan penyewa setelah
habis masa berlakunya perjanjian, padahal yang menyewakan telah minta agar
barang sewa diserahkan kembali, tetapi yang menyewa menolak, maka penyewa dapat
dituntut kerugian, meskipun penggunaannya tidak melampaui kapasitasnya atau
tidak karena kelalaiannya. Penyewa tidak dibebani ganti kerugian bila kerusakan
dalam waktu setelah habis masa berlaku perjanjian itu tidak didahului dengan
adanya permintaan yang menyewakan untuk menyerahkan kembali barang sewa, sebab
penyewa tidak dibebani biaya yang diperlukan untuk menyerahkannya kepada
pemilik tersebut.
D. Macam-Macam sewa-menyewa
1.
Sewa barang
a. Sewa
Menyewa Rumah
Sewa menyewa rumah adalah untuk dipergunakan sebagi tempat
tinggal oleh penyewa atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya
dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali.
Hal ini dibolehkan dengan syarat pihak menyewa tidak merusak bangunan yang disewanya, selain itu penyewa atau orang yang menempatinya berkewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap dapat dihuni sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku ditengah tengah masyarakat.
Hal ini dibolehkan dengan syarat pihak menyewa tidak merusak bangunan yang disewanya, selain itu penyewa atau orang yang menempatinya berkewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap dapat dihuni sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku ditengah tengah masyarakat.
b. Sewa Menyewa
Tanah
Sewa menyewa tanah dalam hukum perjanjian islam dapat dibenarkan
baik tanah untuk pertanian atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan
lainnya.[8]
Hal- hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa
menyewa tanah antara lain sebagai berikut, “untuk apakah tanah tersebut
digunankan ?” apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka harus
diterapkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah
tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula terhadap
jumlah uang sewanya.
Keanekaragaman
tanaman dapat juga dilakukan asal orang yang menyewa / pemilik mengizinkan
tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki penyewa, namun lazimnya bukan jenis
tanaman tua/keras
Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan .
Apabila dalam sewa menyewa tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan .
حَدَّثَنَايَحْيَ عَنْ مَالِكِ عَنْ رَبِيْعَةَ بْنِ أَبِيْ
عَبْدِالزَّحْمَنِ عَنْ حَنْظلَةَبْن قَيْسٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ رَافِع ِبْنِ
خَدِيج اَنَّ رَسُْوْلَ اللهِ ص م نَهَى عَنْ كِراَءِالْْمَزَارِعِ. قَالَ حَنْظَلَةُ: فَسَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيْجٍ
بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ،فَقَالَ:
أَمَّا بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَلابَـأْسَ بِهِ
“Yahya
meriwayatkan kepadaku dari malik, dari Rabi’ah bin Abu Abdurrahman, dari
Hanzhalah bin qais Az-Zuraqi, dari Rafi’ bin Khadij, bahwa Rasulullah SAW
melarang penywaan lading sawah. Hanzalah berkata, “Ketika kutanyakan Rafi’ bin
Khadij, bagaimana jika itu disewakan dengan emas atau perak, ia pun menjawab,
‘jika transaksi penyewaannya dilakukan dengan emas atau perak, itu tidak
mengapa (boleh dilakukan)’.”[9]
وَحَدَّثَنَى مَالِك عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ
أَنَّهُ قالَ: سَأَْلتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ عَنْ كِراَءِالأَرضِ بِالذَّهَبِ
وَالْوَرِقِ، فقال: لَابَأْسَ بِهِ.
“Malik
meriwayatkan kepadaku dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Aku bertanya kepada Sa’id
bin Al Musayyib tentang penyewaan tanah yang dilakukan dengan emas atau perak,
ia menjawab, ‘itu boleh untuk dilakukan’.”
وَحَدَّثَنِي مَا لِك عَن اِبنِ شِهاَب
أَنَّه سَأَلَ سالِمَ بْنَ عَبْد الله بْنِ عُمَرَ عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ،
فقال: لاَبَأْسَ بِهَا
بِا لذَّ هَبِ وَالْوَرِقِ. قا ل ابن شهاب:
فَقُلْتُ لَهُ: أَرَأَيْتَ الْحَدِيثَ الَّذِي يُذْ
كَرُعَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، فقال
: أَكْشَرَرَافِعًُ
Malik
meriwayatkan kepada Ibnu Syihab, bahwa ia pernah bertanya kepada salim bin
Abdullah bin Umar tentang penyewaan lading, ia menjawab, “itu boleh dilakukan
jika dengan emas atau perak.” Ibnu Syahib berkata, “Kemudian aku bertanya
kepadanya lagi, ‘Bagaimana pendapat mu tentang hadits yang diriwayatkan dari
Rafi’ bin Khadij?’ ia menjawab, ‘Rafi’ terlalu berlebih-lebihan.
وَحَدَّثَنِي مَالِك، عَنْ هِشَامِ بْنَ
عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، اَنَّهُ كَانَ يُكْرِي أَرْضَهُ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ.
“Malik
meriwayatkan kepadaku dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa ia pernah
menyewakan tanahnya dengan emas dan perak.Ketika Malik ditanya tentang orang
yang menyewakan ladangnya dengan seratus gantang kurma atau hasil lading
(seperti gandum atau lainnya), Malik menjawab, “Transaksi seperti itu hukumnya
makruh.”
Hal
ini dalam hokum perjanjian islam dapat dibenarkan baik tanah untuk pertanian
atau untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya.Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam hal perjanjian sewa menyewa tanah antara lain sebagai
berikut: Untuk apakah tanah tersebut digunakan? Apabila untuk lahan pertanian,
maka harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yangyang harus
ditanam di tanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh
terhadap jangka waktu sewa menyewa. Dengan sendirinya akan berpengaruh pula
terhadap jumlah yang di sewanya. Keanekaragaman tanaman dapat juga dilakukan asal
orang yang menyewakan mengizinkan tanahnya ditanami apa saja yang dikehendaki
penyewa, namun lazimnya bukan jenis tanaman tua/keras.
Apabila
dalam sewa menyewa Tanah tidak dijelaskan kegunaan tanah, maka sewa menyewa
yang diadakan batal (fasid). Sebab kegunaan tanah sangat beragam, dengan tidak
jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan
persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada akhirnya
akan menimbulkan persengketaan. Tetapi ada pula pendapat yang tidak membolehkan
menyewakan tanah.
Telah diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij dari Bapaknya ia berkata:
Telah diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij dari Bapaknya ia berkata:
نهى رسولالله
صلى عليه وسلم عن إجارة الأرضين
“Rasulullah
SAW telah melarang untuk menyewakan tanah.”
berkata
dari segi makna, “Tidak dibolehkannya menyewakan tanah karena dalam hal
tersebut mengandung resiko, karena mungkin tanaman tersebut tertimpa oleh bencana
berupa Ia api (kebakaran), kekeringan, atau tergenang air, sehingga ia harus
menyewa tanah tersebut tanpa mendapatkan manfaat dari penyewaan tanah
tersebut.”
Adapum
Dalil yang di jadikan landasan oleh ulama yang tidak membolehkan untuk
menyewakannya dengan sesuatu yang keluar darinya adalah logika dan atsar.
Adapun Atar yaitu adanya larangan dari mukhabarah.
a. Malik
membolehkan seseoarang menyewakan pejantannya untuk mengawini sekawanan unta
yang telah diketahui.
b. Abu
Hanifah dan Syafi’i tidak membolehkan hal tersebut.
Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku.
Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini, dan hal tersebut tidak boleh menurut Syafi’I dan Malik.
Dan hujjah ulama yang tidak membolehkan hal tersebut adalah adanya larangan dari menyewakan pejantan. Sedangkan ulama yang membolehkan menyamakannya dengan manfaat-manfaat yang lain, dan hal ini adalah lemah karena mendahulukan qiyas atas nash yang baku.
Sedangkan menyewakan anjing juga termasuk dalam kategori ini, dan hal tersebut tidak boleh menurut Syafi’I dan Malik.
Syafi’I
dalam membolehkan penyewaan manfaat mensyaratkan bahwa manfaat tersebut
memiliki harga tersendiri sehingga tidak boleh menyewa buah untuk dicium, serta
makanan untuk menghiasi toko, karena manfaat-manfaat ini secara tersendiri
tidak memiliki nilai. Maka hal tersebut menurut Malik dan Syafi’I tidak
dibolehkan.
Hal ini
juga mempunyai perselisihan dalam madzhab (Malik) mengenai menyewakan uang
dirham serta dinar. Segala sesuatu yang di ketahui bahwa itu adalah mata uang
maka Ibnu Al Qasyim berkata, “Tidak boleh menyewakan jenis ini dan hal tersebut
termasuk hutang.”
Abu Bakar
Al Abhari serta yang lainnya mengklaim bahwa hal tersebut sah, dan harus ada
upahnya, sedangkan ulama yang melarang menyewakannya karena tidak terbayangkan
adanya suatu manfaat seperti berbasa basi dengan uang tersebut, atau
berpura-pura memiliki uang banyak atau yang lainnya di antara hal-hal yang
terbayangkan di dalam masalah ini.
Adapun
masalah-masalah yang diperselisihkan yang berhubungan dengan jenis harga, yaitu
masalah masalah yang berhubungan dengan sesuatu yang menjadi harga pada
barang-barang dagangan dan sesuatu yang tidak menjadi harga.
Di antara hadits yang melarang dari bab ini adalah, “Bahwa Rasulullah SAW melarang menyewakan pejantan, hasil tukang bekam, serta qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung).” Ath-Thahawi berkata, “Makna larangan Rasulullah SAW dari qafizuth thahhan (takaran pembuat tepung) adalah apa yang dilakukan orang-orang pada zaman jahiliyah yaitu menyerahkan gandum kepada pembuat tepung dengan upah sebagian dari tepung yang ia tumbuk.”
Di antara hadits yang melarang dari bab ini adalah, “Bahwa Rasulullah SAW melarang menyewakan pejantan, hasil tukang bekam, serta qafizuth-thahhan (takaran pembuat tepung).” Ath-Thahawi berkata, “Makna larangan Rasulullah SAW dari qafizuth thahhan (takaran pembuat tepung) adalah apa yang dilakukan orang-orang pada zaman jahiliyah yaitu menyerahkan gandum kepada pembuat tepung dengan upah sebagian dari tepung yang ia tumbuk.”
Menurut
mereka hal ini tidak boleh, hal tersebut merupakan penyewaan dengan barang yang
tidak ia miliki dan tidak termasuk sesuatu yang merupakan utang dalam suatu
tanggungan serta Syafi’i sepakat dengan hal ini. Para sahabat nya mengatakan
apabila menyewa tukang menguliti dengan upah kulit, dan tukang pembuat tepung dengan
upah dedak atau satu sha’ tepung maka penyewaan tersebut telah rusak (batal)
karena terdapat larangan Rasulullah SAW dari qafizuth-thahhan (takaran pembuat
tepung), dan hal ini menurut madzab Malik dibolehkan karena dia menyewanya
untuk memproses sebagian makanan yang telah di ketahui, dan upah pembuat tepung
adalah sebagian makanan itu dan hal tersebut juga telah di ketahui.
Upah dalam
perbuatan Ibadah :
عن عبد الر حمن
بن شبل، عن النبي ص م، قال: اقرءاالقران ولا تغلوا فيه ولاتجفوا عنه، ولا تأكلوا به و لا تستكثروا به. ( رواه أحمد )
“Dari
Abdurrahman bin Syibl RA, dari Nabi SAW, “Bacalah Al-Qur’an dan janganlah
kalian berlebihan padanya tapi jangan pula kendur terhadapnya. Janganlah kalian
makan dari (Upahnya), dan janganlah banyak meminta dengannya.” (HR. Ahmad)
عنعمران بن حصين
عن النبي ص م، قال: اقرءوا القرآن واسألوا الله به، فأن من بعدكم قوما يقرؤون القرآن يسألون
به الناس. ( رواه أحمدوالترمذي)
“Dari Imran
bin Hushain, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Bacalah Al-Qur’an dan memohonlah
kepada Allah dengannya, karena sesungguhnya setelah kalian ada kaum yang
membaca Al-Qur’an meminta kepada manusia dengannya.” (HR. Ahmad dan
At-Tirmidzi)
عن أبي بن كعب
قال: علمت رجلا
القرآن، فأهدى لي قوسا، فذكرت ذلك للنبي ص م فقال: إن أخذتها أخذ ت قوسامن نار. فرددتها. (رواه ابن ماجه)
“Dari Ubay bin Ka’b, ia menuturkan, “Aku
mengajarkan Al Qur’an kepada seorang laki-laki, lalu ia memberiku hadiah busur
panah, lalu aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, ‘Bila
engkau mengambilnya, maka engkau telah mengambil busur dari neraka. “Maka aku
pun mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah)
قال النبي ص م
لعثمان بن أبي العاص: لاتتخذ مؤذنا يأخذ على أذانه أجرا
Nabi SAW berkata kepada Usman bin Abu Al
‘Ash, “Janganlah engkau mengangkat muadzdzin yang mengambil upah dari adzannya.
Hadits-hadits
diatas dijadikan dalil oleh mereka yang menganggap tidak halalnya mengambil
upah dari mengajarkan Al-Qur’an. Adapun Jumhur berpendapat halalnya mengambil
upah dari mengajarkan Al-Qur’an.
Disebutkan
didalam Al Ikhtiyarat : Mengambil upah dari sekadar membaca Al-Qur’an tidak
pernah dikatakan oleh seorang imam pun. Adapun yang mereka perselisihkan adalah
mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an. Dan tidak apa-apa mengambil upah
adri ruqyah. Ucapan Perawi (meniupnya), maksudnya adalah meniup disertai dengan
sedikit ludah. Ibnu Abi Hamzah mengatakan, “Meniup ketika meruqyah adalah
setelah selesai membaca untuk mendapatkan berkah dari bacaan.”
Hadits ini
menunjukkan bolehnya meruqyah dengan Kitabullah, dan dikiaskan pada ini
bolehnya meruqyah dengan dzikir dan doa yang ma’tsur (yang ada riwayatnya dari
Nabi SAW), juga dengan doa yang tidak ma’tsur namun dengan syarat tidak
bertentangan dengan yang ma’tsur. Hadits Abu Sa’id menunjukkan disyariatkan
meminta bertamu kepada warga pedalaman dan singgah di sumber air orang Arab
serta meminta kepada mereka dengan cara menukar atau membeli. Hadits ini juga
menunjukkan bolehnya membalas orang yang tidak mau menghormati dengan cara
serupa. Juga menunjukkan bolehnya meminta hadiah dari orang yang diketahui mau
memberikannya. Ucapan Perawi (selama tiga hari). Dalam lafazh Abu Daud pada
mengumpulkan ludahnya kemudian ditiupkan.”
Sabda
beliau (ruqyah yang bathil), yakni ruqyah yang mengandung perkataan bathil,
yaitu yang mengandung kekufuran atau yang tidak dapat difahami. Hadits-hadits
diatas menunjukkan bolehnya seseorang meminta ruqyah. Sedangkan hadits yang
menyebutkan bahwa orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab adalah mereka yang
tidak pernah meruqyah dan tidak pernah minta di ruqyah, menunjukkan keutamaan
dan anjuran tawakkal, sedangkan Adanya yang menunjukkan untuk meninggalkan
ruqyah adalah bagi orang-orang yang meyakini bahwa pengaruhnya adalah berkat
tabeat ruqyah, yaitu sebagaimana yang diklaim oleh kaum jahiliyah dalam banyak
hal. Perbuatan seperti adzan, qomat, shalat, haji, puasa, membaca Alqur’an dan
zikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh
mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
3. Menyewa Kaum Quraisy
Nabi
Muhammad SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari bani Ad-Dil sebagai
pemandu yang pandai menunjukkan jalan), asalnya dari hadits panjang yang
dikemukakan oleh Al-Bukhari pada kisah hijrahnya Nabi SAW.
Hadits
ini menunjukkan bolehnya seorang muslim menyewa orang kafir untuk menunjukkan
jalan bila dapat dipercaya. Al-Bukhari menyebutkan hadits ini pada kitab
Al-Ijarah yang memberinya judul “Bab: Menyewa Orang Musyrik dalam kondisi
terpaksa bila tidak ada yang muslim. “Seolah-olah Al Bukhari hendak
menggabungkannya dengan sabda beliau SAW, “Aku tidak akn meminta bantuan kepada
orang musyrik”. (di keluar kan oleh muslim dan para penyusun kitab sunan). Ibnu
baththal mengatakan, “Para ahli fiqih membolehkan menyewa mereka, yakni
orang-orang musyrik, baik dalam kondisi terpaksa maupun tidak, karena hal ini
mengandung perendahan mereka adapun yang dilarang adalah seorang muslim
menyewakan dirinya kepada orang musyrik, Karena dengan begitu berarti ia telah
merendahkan dirinya sendiri.
Upah Bekam
Upah Bekam
عن أبي هريرة،
أن النبي ص م نهى عن كسب الحجام ومهرالبغي وثمن الكلب.
(رواه أحمد)
Dari
Abu hurairah: “Bahwasanya Nabi SAW melarang megambil upah bekam, upah
pelacur dan harga Anjing “(HR. Ahmad)
Hadits
diatas dijadikan dalil oleh mereka yang mengharamkan upah bekam, yaitu sebagian
ahli hadits karena larangan itu mengindikasikan haram, sebab makna khabiits
adalah haram. Penyebutan haram ini dikuatkan oleh kata “suhtan” (haram) pada
hadits hurairah. Namun Jumhur berpendapat halal, mereka berdalih dengan hadits
Anas dan Ibnu Abas, lalu mengartikan larangan itu sebagai larangan yang
mengindikasikan makruh, karena mencari upah dengan berbekam mengandung hinaan,
sedangkan Allah menyukai perkara yang luhur.
Lain
dari itu, bekam termasuk yang diwajibkan atas setiap muslim untuk menolong
sesame muslim ketika membutuhkannya. Hal ini dikuatkan oleh izinnya Nabi
Muhammad SAW untuk menggunakan upah bekam, yaitu untuk memberi makan tukang
pembawa air dan budak. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan: “seandainya
diketahui makruhnya, tentu tidak memberinya” yakni makrum tahrim. Dalam riwayat
Al-Bukhari yang lainnya disebutkan: “Walau kaanna haraaman lam yu’thihi
[Seandainya itu haram, tentu beliau tidak memberinya]. Ini jelas menunjukkan
boleh.
Disebutkan
didalam Al-Ikhtiyarati: Bila seseorang membutuhkan pekerjaan ini (untuk mencari
nafkah), maka tidak boleh meminta-minta kepada orang, karena pekerjaan ini
lebih baik daripada meminta-minta, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf,
“Pekerjaan yang mengandung kehinaan lebih baik daripada meminta-minta kepada
orang lain.
4. Menyewa Pekerja Dengan Upah Harian, Bulanan, Tahunan
Atau Berdasarkan Jumlah Yang Dikerjakan.[11]
عن علي قال: جعت مرةجوعاشديدا، فخرجت لطلب العمل في عوالي المدينه،فإذا
أنابامرأة قدجمعت مدرافظننتهاتريدبله، فقاطعتهاكل ذنوب على تمرة، فمددت ستة عشر
ذنوبا حتى مجلت يداي، فعدت لي ستةعشر تمرة،فأتيت النبي ص م فأخبرته، فأكل معي منها. (رواه أحمد)
“Dari
Ali RA, ia menuturkan, “Suatu ketika aku merasa sangat lapar, maka aku keluar
untuk mencari pekerjaan dipinggiran Madinah. Tiba-tiba aku mendapati seorang
wanita sedang mengumpulkan tanah kering, aku menduga bahwa ia hendak
membasahinya, lalu aku menawarkan jasa padanya untuk setiap ember satu butir
kurma. Lalu aku megerjakan enam belas ember hingga kedua tangan ku terasa
pegal. Lalu ia pun memberiku enam belas butir kurma. Kemudian aku datang kepada
Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau, lalu beliau pun makan dari
kurma itu.”
(HR. Ahmad)
عن أنس قال: لما قدم المهاجرون المدينه من مكةن قدمواوليس بأيديهم شئ،
وكانت الأنصارأهلالأرض والعقار، فقاسمهم الأنصارعلى أن يعطوهم نصف ثمار أموالهم كل
عام، ويكفوهم العمل والمؤنة. (أخرجاه)
Dari
Anas, ia menuturkan,”Ketika kaum muhajirin dari Makkah sampai di Madinah,
mereka datang tanpa membawa apa-apa, sedangkan kaum anshar adalah para pemilik
tanah dan rumah, maka kaum anshar pun berbagi dengan mereka dengan kesepakatan
mendapat separuh hasil buahnya setiap tahun dan mereka membantu bekerja dan
biaya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
قال البخاري: وقال ابن عمر: أعطى النبي ص م خيبربالشطر، فكان ذلك
على عهد النبي ص م وأبي بكر وصدرمن خلافة عمر. ولم يذكرأن أبابكر و عمر جدداالإجارة
بعد ما قبض النبي ص م
“Ibnu
Umar mengatakan, “Nabi SAW menyerahkan penggarapan lahan khaibar dengan upah
separuh hasilnya, dan itu berlangsung pada masa Nabi SAW, Abu Bakar dan
permulaan masa khalifah Umar. Ia tidak menyebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar
memperbaharui sewa setelah wafat nya Nabi SAW.” (HR. Al Bukhari)
Hadits
Ali RA menunjukkan tentang kondisi para sahabat yang sangat membutuhkan namun
tetap bersabar menghadapi lapar, bekerja pada orang lain untuk mendapatkan
makanan agar bisa menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain; Bahwa
menawarkan diri (untuk bekerja) tidak di anggap hina, walaupun si penyewa bukan
orang mulia atau orang kafir sedangkan yang disewa adalah orang mulia atau
pembesar.
Dalil
bolehnya ijarah mu’adadah (penyewaaan sesuai jumlah), yaitu penyewa mengerjakan
sejumlah pekerjaan tertentu yang di upah sesuatu sebanyak jumlah pekerjaan itu,
walau pun sebelumya tidak dijelaskan jumlah pekerjaan dan upahnya (jadi yang di
upah adalah sesuai yang di kerjakan). Hadits Anas menunjukkan bolehnya
menyewakan tanah dengan harga sewa separuh hasilnya setiap tahun, begitu juga
hadits Ibnu Umar.
E. Keuntungan dan Kerugian
adanya Sewa Menyewa
Keuntungan
adanya sewa menyewa ada 3:[12]
1. Adanya
sewa-menyewa bisa membantu orang mengambil manfaat dari yang disewakan
tersebut.
2. Membantu
orang yang tidak mampu membeli barang, jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut
bisa menyewa barang itu.
3. Penyewa
tidak dibebani biaya-biaya yang diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan
barang jika barang tersebut rusak
Kerugian
adanya sewa menyewa :
1. Bila
barang rusak maka yang menanggung resiko adalah pemilik barang
2. Resiko
yang ditanggung tak sebanding dengan harga sewa.
3. Ajir
musytarok terikat pada waktu yang telah dijanjikan namun bila waktu tersebut
tidak dipenuhi maka penyewa mengalami kerugian.
F. Upah
Kerja dalam Sewa Menyewa
Jika sewa-menyewa itu berupa pekerjaan, maka berkewajiban
pembayarannya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain,
jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak
ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya
secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i
dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir
menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima
bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaan.[13]
a. Hak
menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut :
Ketika pekerjaan
selesai dikerjakan, beralasan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah,
Rasulullah SAW bersabda:
أعطواالأجيرأجره قبل ان يجف عرقه
“Berikanlah upah
sebelum keringat pekerja itu kering”.
Dalam Musnad Ahmad,
riwayat Abu Hurairah, diterangkan bahwa Nabi SAW bersabda:
يغفر لأمتي لآخرليلة من رمضان، قيل يارسول الله: أهي
ليلةالقدر؟ قال: لا ولكن العا مل إنما يوفي أجره إذا قضى عمله.
“Umatku diampuni
(dosanya) di akhir bulan Ramadhan.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Apakah
karena malam itu adalah malam Lailatul Qadar?” Beliau menjawab, “Bukan, tetapi
(karena) orang yang bekerja telah dibayar upahnya setelah ia selesai
mengerjakan pekerjaannya.”
b. Jika
menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad
ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan
berlangsung.
Ajir
musytarok yang haknya atas upah dititikberatkan pada jasa yang diberikan kepada
pekerja,bukan pada diri sendiri dan waktu yang diberikan untuk penyewa. Ajir
musytarok berhak menerima upah bila ia menyerahkan hasil pekerjaannya.
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله ص م: يقول الله عليه وجل:
ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة، ومن كنت خصمه خصمته: رجل أعطى بي ثم غدر، ورجل باع
حرافأكل ثمنه، ورجل استأجرأجيرا فاستوفى منه ولم يوفه أجره. (رواه أحمد والبخاري)
“Dari Abu Hurairah, ia
berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah ‘Azza wa jalla berfirman, “Tiga
golongan manusia dimana aku akan menjadi seteru (musuh) mereka pada hari
kiamat, dan barangsiapa yang aku seterunya, maka aku akan menyangkalnya, yaitu:
orang yang memberi dengan bersumpah atas nama-Ku lalu berkhianat, orang yang
menjual orang yang merdeka lalu memakan uangnya, dan orang yang menyewa
(mempekerjakan) seorang pekerja lalu pekerja memenuhinya, tetapi ia tidak
memberikan upahnya.” (HR. Ahmad dan Al Bukhari)
عن أبيهريرة -في حديث له- عن النبي ص م: أنه يغفر لأمته في
آخرليلة من رمضان. قيل: يارسولل الله، أهي ليلةالقدر؟ قال: لا، ولكن العامل إنما
يوفي أجره إذاقضى عمله. (رواه أحمد)
“Dari Abu Hurairah
dalam salah satu haditsnya-, dari Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah mengampuni
umat-Nya diakhir malam Ramadhan. “Dikatakan, “Wahai Rasulullah, apa itu pada
malam qadar? “Beliau menjawab, “Tidak akan tetapi, pekerja berhak menerima upah
setelah ia menyelesaikan pekerjaanya.” (HR. Ahmad)
عن عمروبن شعيب عن أبيه عن جده عن النبي ص م قا ل: من تطبب
ولم يعلم منه طب فهو ضامن. (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه)
“Dari Amr bin Syu’aib,
dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang
melakukan pengobatan, padahal ia tidak dikenal sebagai orang yang mengerti masalah
pengobatan, maka ia harus bertanggung jawab.” (HR. Abu Daud, An-Nisa’i dan Ibnu
Majah)
Firman
Allah dalam hadits qudsi diatas (tetapi ia tidak memberikan upahnya), ia
semakna dengan seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil
penjualannya, karena ia telah mengambil manfaatnya tanpa memberikan upahnya,
jadi seolah-olah ia memakannya, dan karena ia telah mempekerjakannya tanpa
upah, maka seolah-olah ia telah memperbudaknya.
Sabda
beliau (Akan tetapi, pekerja berhak menerima upah setelah ia menyelesaikan
pekerjaannya) menunjukkan bahwa upah itu berhak diterima karena selesainya
pekerjaan.
Sabda
beliau (maka ia harus bertanggung jawab) menunjukkan, bahwa orang bukan
praktisi pengobatan yang melakukan praktek pengobatan harus bertanggung jawab atas
kesalahan dalam prakteknya, adapun orang yang memang diketahui sebagai tabib
(dokter atau lainnya), maka tidak bertanggung jawab, yaitu orang yang mengerti
gejala penyakit, dampak dan obatnya. Pembayaran dilakukan segera, karena ia
bekerja tidak lain karena kebutuhannya terhadap uang.
G. Batalnya Sewa Menyewa
Batalnya
sewa menyewa karena :[14]
1. Telah
habis masanya
2. Barang/sesuatu
yang disewa rusak sendiri, misalnya rumah roboh sebelum masa sewa habis, tukang
pembuat pintu mogok untuk menyelesaikan pekerjaannya
3. Barang
yang disewakan bukan hak pemberi sewa yang sah
4. Terjadinya
cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa
5. e.
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan
untuk dijahitkan
6. Terpenuhinya
manfaat yang diakadkan, Yang dimaksud dalam hal ini adalah tujuan perjanjian
sewa menyewa telah tercapai, atau masa perjanjian sewa menyewa telah berakhir
sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
7. Adanya
uzur
Penganut mazhab Hanafi menambahkan bahwa uzur juga merupakan
salah satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian sewa, sekalipun uzur
tersebut datangnya dari salah satu pihak. Adapun yang dimaksud dari uzur disini
adalah adanya suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin dapat terlaksana
sebagaimana mestinya.
H. Hikmah
Hikmah dalam persyariatan sewa- menyewa sangatlah besar sekali.
Karena didalam sewa menyewa terdapat unsur saling bertukar manfaat antara
manusia yang satu dengan yang lainnya . bertukar manfaat antara manusia yang
satu dengan yang lainnya . karena perbuatan yang dilakukan oleh satu orang
pastilah tidak sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang atau tiga
orang misalnya. Apabila persewaan tersebut berbentuk barang , maka dalam akad
persewaan diisyaratkan untuk menyebutkan sifat dan kuantitasnya adapun mengenai
syarat dalam cabang fiqih[15]
Hikmah dalam persewaan adalah untuk mencegah terjadinya
permusuhan dan perselisihan tidak boleh menyewakan suatu barang yang tidak ada
kejelasan manfaatnya yaitu sebatas perkiraan dan terkaan belaka . dan,
barangkalai tanpa diduga barang tersebut tidak dapat memberikan faedah apa pun.
Masalah ini secara panjang lebar telah dibahas dalam cabang fiqih, maka
lihatlah kembali jika menginginkan faedah tambahan.
I.
Analisis
Dalam lapangan hukum perdata prinsip ijarah dikenal dengan
istilah prinsip sewa – menyewa. Definisi sewa menyewa yang diberikan oleh Pasal
1548 KUH Perdata adalah “ suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari
sesuatu barang selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga
yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. “
Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan
tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud’alaih, sebab
ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.Adapun
hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan
manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari
kesepakatan pada waktu akad. Bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan
tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama
dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran
yang dicapai oleh barang sewaan.
Adapun hukum ijarah secara global terbatas dalam 2 kelompok,
yaitu :
1. Perkara-perkara
yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency yang akan menimpa.
2. Hukum-hukum
emergency yang datang belakangan, dan ini terbagi kepada; hal-hal yang
mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya tanggungan; kewajiban adanya
pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan hukum perselisihan.
3. Perkara-perkara
yang mengharuskan akad ini tanpa adanya kejadian (emergency) yang datang
kepadanya.
Diantara masalah yang mencakup dalam hal ini adalah :
Menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa harga sewa harus diberikan sebagian sebagian sesuai manfaat yang diambil, kecuali apabila ia mensyaratkan harga harus diserahkan diserahkan seluruhnya. Seperti berbentuk suatu ganti tertentu atau sewa dalam suatu tanggungan. Syafi’i berkata, “Wajib memberikan harga saat terjadi akad.”
Menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa harga sewa harus diberikan sebagian sebagian sesuai manfaat yang diambil, kecuali apabila ia mensyaratkan harga harus diserahkan diserahkan seluruhnya. Seperti berbentuk suatu ganti tertentu atau sewa dalam suatu tanggungan. Syafi’i berkata, “Wajib memberikan harga saat terjadi akad.”
Malik memandang bahwa harga akan dimiliki sesuai dengan kadar
ganti yang akan diambil. Sedangkan Syafi’i seolah-olah melihat bahwa
keterlambatan pembayaran harga sewa tersebut termasuk kategori jual beli utang
dengan utang.
Diantara hal tersebut adalah perselisihan mereka mengenai penyewa binatang atau rumah serta yang serupa dengan hal tersebut, apakah ia berhak untuk menyewakan dengan harga lebih dari harga ia menyewa:
Diantara hal tersebut adalah perselisihan mereka mengenai penyewa binatang atau rumah serta yang serupa dengan hal tersebut, apakah ia berhak untuk menyewakan dengan harga lebih dari harga ia menyewa:
1. Malik,
Syafi’i dan Jama’ah membolehkan hal tersebut dengan mengqiyaskannya kepada jual
beli.
2. Abu
Hanifah dan para sahabatnya melarang hal tersebut.
Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut
termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan barang
yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut termasuk dalam
kategori jual beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama
membolehkan hal tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan. Diantara ulama
yang tidak memakruhkan hal ini apabila terjadi dengan sifat ini adalah Sufyan
Ats-Tsauri serta jumhur, mereka melihat bahwa persewaan dalam hal ini mirip
dengan jual beli.
Dalil yang dijadikan landasan mereka adalah bahwa hal tersebut
termasuk kategori laba sesuatu yang tidak ditanggung. Karena tanggungan barang
yang pokok adalah dari pemiliknya. Begitu juga hal tersebut dalam kategori jual
beli sesuatu yang belum diambil. Sedangkan sebagian ulama membolehkan hal
tersebut apabila ia mengadakan suatu pekerjaan.
Hukum-hukum
darurat yang datang belakangan
Pasal pertama: PembatalanAbu Hanifah dan para sahabatnya
berkata, “Boleh menggagalkan akad sewa karena adanya alas an yang dating
belakangan kepada penyewa, seperti ia menyewa sebuah toko sebagai tempat
berdagang kemudian barang dagangan nya terbakar atau dicuri.” Karena sewa
adalah akad atas manfaat sehingga menyerupai pernikahan, dan karena sewa adalah
akad berdasarkan atas saling mengganti sehingga tidak batal dan asalnya adalah
jual beli.
Dalil yang dijadikan landasan oleh Abu Hanifah adalah bahwa ia
menyamakan hilangnya sesuatu yang dengannya manfaat akan didapatkan secara
sempurna dengan hilangnya barang yang memiliki manfaat.
Pasal kedua: Tanggung jawab (Jaminan)
Menurut para fuqaha ada dua bentuk yaitu: Karena suatu pelanggaran, atau untuk suatu kemaslahatan serta penjagaan harta. Adapun yang disebabkan karena suatu pelanggaran maka tanggung jawab menjadi kewajiban atas penyewa dengan kesepakatan ulama, sedangkan perselisihan hanyalah mengenai jenis pelanggaran yang mewajibkan serta mengenai kadarnya.
Menurut para fuqaha ada dua bentuk yaitu: Karena suatu pelanggaran, atau untuk suatu kemaslahatan serta penjagaan harta. Adapun yang disebabkan karena suatu pelanggaran maka tanggung jawab menjadi kewajiban atas penyewa dengan kesepakatan ulama, sedangkan perselisihan hanyalah mengenai jenis pelanggaran yang mewajibkan serta mengenai kadarnya.
Diantara hal tersebut adalah perselisihan para ulama mengenai
keputusan penyewa hewan (kendaraan) untuk menuju kesuatu tempat kemudian ia
melebihi tempat yang telah disepakati dalam persewaan tersebut :
1. Ahmad dan
Syafi’i berpendapat ia bertanggung jawab atas sewa yang ia tetapkan dan
kelebihannya.
2. Malik
berpendapat bahwa pemilik kendaraan memiliki khiyar antara mengambil (ongkos)
sewa kendaraannya atas jarak yang telah ia lampaui atau ia menanggung
nilai-nilai tersebut.
3. Abu
Hanifah berpendapat tidak ada kewajiban sewa atas jarak yang telah ia lampau.
Tidak ada perselisihan bahwa apabila kendaraan tersebut rusak
pada jarak yang melebihi kesepakatan, maka penyewa yang bertanggung jawab.
Dalil yang dijadikan landasan Syafi’i adalah karena penyewa telah melakukan pelanggaran terhadap suatu manfaat sehingga ia wajib membayar ongkos yang semisal, pada dasar hal tersebut adalah suatu pelanggaran terhadap manfaat lain. Adapun Malik saat ia menahan hewan (kendaraan) tersebut dari (mendatangi) pasar hewan, ia memandang bahwa orang tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap manfaat yang ada, mengenai tewasnya hewan (rusaknya kendaraan), apabila karena keteledoran dari pemilik hewan tersebut maka ia bertanggung jawab. Begitu pula apabila tali-talinya telah using. Adapun pendapat Abu Hanifah sangat jauh dari dasar-dasar syari’at dan yang paling dekat kepada dasar syari’at adalah pendapat syafi’i.
Dalil yang dijadikan landasan Syafi’i adalah karena penyewa telah melakukan pelanggaran terhadap suatu manfaat sehingga ia wajib membayar ongkos yang semisal, pada dasar hal tersebut adalah suatu pelanggaran terhadap manfaat lain. Adapun Malik saat ia menahan hewan (kendaraan) tersebut dari (mendatangi) pasar hewan, ia memandang bahwa orang tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap manfaat yang ada, mengenai tewasnya hewan (rusaknya kendaraan), apabila karena keteledoran dari pemilik hewan tersebut maka ia bertanggung jawab. Begitu pula apabila tali-talinya telah using. Adapun pendapat Abu Hanifah sangat jauh dari dasar-dasar syari’at dan yang paling dekat kepada dasar syari’at adalah pendapat syafi’i.
Adapun membebankan tanggung jawab kepada pembuat sesuatu atas
kerusakan barang-barang yang telah diserahkan kepada mereka, para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini:
1. Malik,
Ibnu Abu Laila, dan Abu Yusuf berpendapat bahwa mereka (pembuat barang)
bertanggung jawab terhadap apa yang rusak ditangan mereka
2. Abu
Hanifah berpendapat bahwa para pembuat barang yang tidak mendapatkan upah atau
orang khusus, tidak terkena tanggung jawab, sedangkan pembuat barang biasa
membuat barang untuk orang lain dan mendapatkan upah maka ia terkena tanggung
jawab atas kerusakan yang terjadi.
Pasal ketiga: hukum perselisihan Sebuah pembahasan mengenai perselisihan,
para ulama berbeda pendapat mengenai seorang pembuat sesuatu dan pemilik barang
yang dibuat tersebut yang berselisih tentang sifat produk
1. Abu
Hanifah berpendapat perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik barang yang
dibuat
2. Malik dan
Ibnu Abu Laila berpendapat bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat
tersebut
Sebab perbedaan pendapat: ketidakjelasan siapa yang menuduh dan
yang dituduh diantara keduanya. Apabila pembuat tersebut mengklaim bahwa ia
telah mengambilkan barang yang diserahkan kepada pemesan, sedangkan pemesan
(yang telah membayar) mengingkari hal tersebut:
1. Menurut
pendapat Malik, perkataan yang kuat adalah perkataan pemesan, dan pembuat
barang tersebut berkewajiban untuk mendatangkan bukti karena ia adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap apa yang ada ditangannya
2. Ibnu Al
Majisyun berkata, “Perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat barang tersebut
apabila barang yang diserahkan kepada pemesannya tanpa bukti, sedangkan apabila
diserahkan dengan membawa bukti maka mereka tidak dapat lepas tanggung jawab
kecuali dengan suatu bukti.”
Apabila pembuat suatu (barang) berbeda pendapat dengan pemilik
barang mengenai pembayaran upah: Menurut pendapat yang terkenal dalam madzhab
Malik bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat dengan disertai sumpah
apabila hal tersebut berlangsung belum lama, sedangkan apabila telah
berlangsung lama maka perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik barang.
Begitu pula apabila orang yang menyewakan dan penyewa berbeda pendapat: Ada yang mengatakan bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat barang dan orang yang menyewakan walaupun telah berlangsung lama dan demikianlah sebenarnya.
Begitu pula apabila orang yang menyewakan dan penyewa berbeda pendapat: Ada yang mengatakan bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pembuat barang dan orang yang menyewakan walaupun telah berlangsung lama dan demikianlah sebenarnya.
Apabila orang yang menyewakan dan penyewa, atau orang yang
diupah dan orang yang mengupah berbeda pendapat mengenai tenggang waktu yang
terjadi padanya pengambilan suatu manfaat, apabila mereka telah sepakat bahwa
manfaat tidak diterima pada seluruh waktu yang telah ditetapkan maka menurut
pendapat yang masyhur dalam madshab Malik bahwa perkataan yang kuat adalah
perkataan penyewa karena ia adalah orang yang membayar, sedangkan kaidahnya
adalah bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan orang yang membayar.
Apabila perselisihan mereka mengenai jenis jarak tersebut atau jenis sewaan; maka mereka saling bersumpah serta membatalkan kesepakatan sebagaimana perselisihan dua orang yang berjual beli mengenai jenis harga :
Apabila perselisihan mereka mengenai jenis jarak tersebut atau jenis sewaan; maka mereka saling bersumpah serta membatalkan kesepakatan sebagaimana perselisihan dua orang yang berjual beli mengenai jenis harga :
1. Ibnu
Majisyun berpendapat terjadi atau belum terjadi
2. Sedangkan
selainnya berpendapat bahwa perkataan yang kuat adalah perkataan pemilik hewan
apabila telah terjadi, dan hal tersebut seperti apa yang ia katakana
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sewa menyewa adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. Jenis barang yang disewakan terdiri dari enam, yaitu :
Sewa menyewa adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. Jenis barang yang disewakan terdiri dari enam, yaitu :
1.
Sewa menyewa
barang
2.
Sewa menyewa binatang
3.
Upah dalam
perbuatan Ibadah
4.
Menyewa kaum
quraisy
5.
Upah bekam
6.
Menyewa pekerja
dengan upah harian, bulanan, tahunan atau berdasarkan jumlah yang dikerjakan, Syarat
dari sewa menyewa ada sepuluh serta mempunyai lima rukun sewa. Tujuan dari sewa
menyewa adalah mengambil manfaat dari apa yang disewa dengan maksud tertentu
dan mubah setelah disewa. Ketentuan untung rugi dalam sewbis masa berlaku
perjanjian dalam sewa. Sewa menyewa secara global mempunyai dua hukum yaitu :
Perkara perkara yang mewajibkan dan mengikat akad ini tanpa adanya emergency
yang akan menimpa serta Hukum hukum emergency yang datang belakangan, dan ini
terbagi kepada hal-hal yang mewajibkan adanya tanggungan dan tidak adanya
tanggungan & kewajiban adanya pembatalan dan tidak adanya pembatalan; dan
hukum perselisihan. Adapun batalnya sewa menyewa terdiri dari tujuh macam.
B.
KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak perna
luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat megharapkan adanya
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar
nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri.
Makalah ini dipersentasikan oleh
SRI PUJI ASTUTIK
Mahasiswa IAINJ Jurusan Ekonomi Syari'ah
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-sunnah, Jilid III (Beirut: Dar
al-Fikr, 1983).
Wahbah al Zuhayly, Al Fiqh al Islami Wa’adillatuhu, Daar al
Fikri, Damsyik, 1989.
Alaudin Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i,
Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir.
Ibn Qudamah, Al-mugni, Mathba’ah Al-Imam, Mesir.
Ibn Qudamah, Al-mugni, Mathba’ah Al-Imam, Mesir.
Khathib, Muhammad al-Syarbini. T.T. al-Iqna’fi Hall
al-Alfadz Abi Syuja’. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.
Muhammad Asy-Sarbini, Mugni Al-Muhtaj.
Hendi suhendi, Fiqih muamalah. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002
Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, FH. UII,
Yogyakarta, 1983
[1] Sabiq,
Sayyid, Fiqh al-sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1983). Hal 88
[2] Hendi
suhendi, Fiqih muamalah. (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2002)
[3] Ibid,
hal 89
[4] Ibid,
hal 92
[5] Ibid hal
92
[6] Wahbah
al Zuhayly, Al Fiqh al Islami Wa’adillatuhu, (Daar al Fikri, Damsyik, 1989) hal
102
[7] Hendi
suhendi, Fiqih muamalah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2002
[8] Ahmad
Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, FH. UII, Yogyakarta ,
1983
[9] Wahbah
al Zuhayly, Al Fiqh al Islami Wa’adillatuhu, (Daar al Fikri, Damsyik, 1989) hal
101
[10] Ibid,
hal 101
[11] Ibid
hal 103
[12] Ahmad
Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, (FH. UII, Yogyakarta ,
1983)hal, 209
[13] Ibid
hal, 211
[14] Alaudin
Al-Kasyani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Syara’i, Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir
[15] Hendi
suhendi, Fiqih muamalah. (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2002)
Makasih Makalahnya :p
BalasHapussaranghaeeeeee kakak :*
BalasHapus