SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST
MUHAMMAD MAKRUFI
----
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan
hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi,
zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.
Perkembangan
hadist pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadist. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadist. Selain itu juga disebabkan fokus
Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan
tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in besar. Bahkan dengan Khalifah yang
lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadist secara resmi dimulai pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).
Terlepas
dari naik turunnya perkembangan hadist, tak dapat dinafikan bahwa sejarah
perkembangan hadist memberikan pengaruh besar dalam sejarah peradaban islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah
perkembanagn hadist pada masa Rasulullah SAW ?
2. Bagaimana sejarah
perkembangan hadist pada masa Sahabat (Khulafa’ Al-Rasyidin) ?
3. Bagaimana sejarah
perkembangan hadist pada masa Tabi’in ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadist pada Masa
Rasulullah SAW
Membicarakan
hadist pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadist pada awal
pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul
sebagai sumber hadist.
Rasul
membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu
dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan
kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk
lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan
diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
1. Cara Rasul Menyampaikan
Hadist
Dalam riwayat
Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW,
menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin
mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut
diantaranya adalah :
Pertama, melalui para jama’ah yang berada di
pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah
SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat
terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.[1]
Untuk hal-hal
tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis,
beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika
mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada
istri-istri beliau.
2. Keadaan para sahabat
dalam meneriam dan menguasai hadist
Dalam
perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain
tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang
sedikit. Hal ini disebabkan karena:[2]
a. Perbedaan mereka dalam
hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
b. Perbedaan dalam soal
hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
c. Perbedaan dalam hal
waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
d. Perbedaan dalam
ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.
Ada beberapa
sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:
a. Para sahabat yang
termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman
bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.
b. Ummahat Al-Mu’minin
(istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya
banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami
istri.
c. Para sahabat yang
disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti
Abdullah Amr bin Ash.
d. Sahabat yang meskipun
tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan
kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu
Hurairah.
e. Sahabat yang secara
sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain
seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
3. Pemeliharaan Hadist
dalam Hafalan dan Tulisan.
a. Aktifitas menghafal
hadist
Untuk
memelihara kemurnian al-Qur’an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan
terhadap Al-Qur’an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain
menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk
menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan
demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak
terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi
kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
b. Aktifitas menulis
hadist
Keadaan
Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada
beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan
hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا
غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis
apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain
Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi
disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan
penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى
نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.
” tulislah dari saya,
demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali
yang hak”.
Dua hadist
diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai
berikut:
a. Bahwa larangan menulis
hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak
tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin
banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya
telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
b. Bahwa larangan menulis hadist
itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang
memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam
menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin
Ash.
c. Bahwa larangan menulis
hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan
perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.[3]
B. Hadist Pada Masa
Sahabat
Periode
kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan
sahabat besar.
1. Sahabat dan Periwayatan
Hadist
a. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada
masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang
lain sebagai mana sabdanya :
تركت فيكم أمر يى
لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian
dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu
kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan
Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala
perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara
pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan
melaksanakan segala yang dicontohkan.
b. Berhati-hati dalam
Meriwayatkan dan Menerima Hadist.
Perhatian
sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan
menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu
Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa
Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah
yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di
Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.
Perlu
pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk
menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat
islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang
banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah
kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat.
Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap.
Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat
sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal
lafadz dan kesahihannya.
c. Periwayatan Hadist
dengan Lafadz dan Makna.
Pembatasan
atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat
dengan sifat kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak
diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan.
Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan
setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan
sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama,
periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul).
Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha
agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat
Ibnu Umar.
Kedua,
periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan
hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW
akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.
2. Abu Bakar
Untuk
menghindari kebohongan itu, misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain
ketika seorang nenek datang padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta
yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak
melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka
tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek seperti
kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak
laki-lakinya.
Kesimpulannya,
benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak
perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan,
untuk kepentingan tertentu hadist nabi ditulisnya.
3. Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah
berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah
orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat
hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi
tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan
terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan
sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti
bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan
islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.
Sikap
kehati-hatian kedua sahabat tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib
tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini
juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab
halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:[4]
a. Agar tidak memalingkan
perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
b. Para sahabat yang
banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah
kekuasaan Islam.
c. Soal membukukan hadist,
dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
C. Hadist Pada Masa
Tabi’in
1. Wawasan Hukum Zaman
Tabi’in
Antara Islam
sebagai agama dan hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari.
Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi SAW. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di
Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam
periode pertama itu. Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan
etika. Maka sejak di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial
yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang
haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan
menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim
secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu
semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah
belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang
telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa
para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi’in, prinsip-prinsip yang
diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan
politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia
sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik
Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da’irat al-Ma’murah) telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat
mapan dan tinggi, termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu
merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah
dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi kehidupan
masyarakat yang haruas dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab
itu.
Tuntutan
intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat
khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara
utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi’in itu ialah semacam pendekatan
ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan
menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat
lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.
2. Pusat-pusat Pembinaan
Hadist[5]
Tercatat
beberapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai
tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis, yaitu ialah Madinah
Al-Munawaroh, Mekah Al-Mukaroma, kufah basrah, syam, mesir, magrib, dan
Andalas, yaman, dan khurasan dan sejumlah para sahabat Pembina hadits pada
kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang tercatat banyak meriwayatkan hadis,
antara lain Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, Aisyah, Abdullah
Bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id Al-Khudzri.
Pusat
pembinaan hadis pertama adalah madinah karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah. Disini pula Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang
terdiri dari Muahajirin dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, disamping
umat non muslim, seperti yahudi yang dilindungi oleh beliau. Para sahabat
menetap disini, diantaranya khula Ar-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah,
Abdullah Bin Umar, dan Abu Said Al-khudzri serta para pembesar tabi’in.
Diantara para
sahabat yang membina hadis di mekah tercatat nama-nama, seperti Muadz Bin
Zabal, Atab Bin Asid, Haris Bin Hisyam, Usman Bin Thalhah, dan Uqbah bin
Al-Haris. Diantara para tabi’in yang muncul dari sini tercatat Mujahid Bin
Jabar, Ata’ Bin Abi Rabah, Tawus Bin Kaisam dan Ikrimah Maula Ibnu Abbas.
Masih banyak
para sahabat dan Tabi’in yang berperan dalam perkembangan hadis diberbagai
kota.
3. Pergolakan Politik dan
Pemalsuan Hadis
Pergolakan
politik ini terjkadi pada masa sahabat setelah terjadinya perang jamal dan
perang siffin, ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut, dengan terpecahnya umat islam
kedalam beberapa kelompok. Secara langsung maupun tidak langsung, pergolakan
politik tersebut memberikan pengaruh kepada perkembangan hadis berikutnya.
Pengaruh yang langsung dan bersifat negative ialah munculnya hadis-hadis palsu
(maudu’).
Adapun
pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha untuk mendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis sebagai upaya peyelamatan dari
pemusnahan dan pemalsuan akibat dari pergolakan politik tersebut.[6]
D. Proses Perkembangan
Hadis pada Masa Kodifikasi
Proses
kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses
pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal
ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau
merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan
sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah
kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya
supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Abu
Naaim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd
al-Aziz mengirimkan pesan perhatikan hadits Nabi dan kumpulkan. Al-Bukhari
meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits
Rasulullah SAW, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan
dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi SAW .[7]
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan
hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zaharah al-
Anshariyah (21-98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq.
Pengumpulan
al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh
Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan
Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di
jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak
buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits
bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Tadwin
al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits
dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah
(khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi
telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus
hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa
penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik
karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat.
Tuduhan ini menurut M.M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian
dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.
Pada
masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab
Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jamia
dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar
shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang
disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya
hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa
taadil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismaail al-Bukhari.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah
hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah
memahaminya, berikut uraiannya.
1. Hadist pada masa Rasul
SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal
penting yang berkaitan dengan masa itu:
a. Cara rasul menyampaikan
hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat
terbuka, dan lain-lain.
b. Keadaan para sahabat
dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing
sahabat.
c. Pemeliharaan hadist
melalui hafalan dan tulisan.
2. Hadist pada masa
sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal
pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi,
dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :
a. Agar tidak memalingkan
perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
b. Para sahabat yang
banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah
kekuasaan Islam.
c. Soal membukukan hadist,
dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
3. Hadist pada masa
tabi’in
Pada masa ini juga terjadi kegiatan
menghafal dan menulis hadist, dan ada bebrapa hal yang begitu berpengaruh dalam
hal perkembangan hadist, diantara pengaruh positif yang ada adalah hadist
sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
4. Masa Kodifikasi
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002)
Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah.
pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002)
Munzir Suparta, Sejarah Dan Prngantar
Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang 1991)
Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah.
pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005
Subhy Ash Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist
(Jakarta: Pustaka Firdaus 2000)
[1] Suparta, Munzier, Ilmu Hadist,
(Jakarta : PT.
Raja Grafindo persada. 2002) hal 55
[2] Ibid,
hal 56
[3] Ibid
hal56
[4] Munzir
Suparta, Sejarah Dan Prngantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang 1991)
hal 93
[5] Ibid hal
50
[6]
Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah. pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN
Ponorogo press. 2005
[7] Subhy
Ash Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadist (Jakarta : Pustaka Firdaus 2000) hal, 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar