Kamis, 15 Maret 2012

FIlsafat Ilmu, Ilmu dan Paradigma Ilmu Agama Prespektif al-Jabiri

A.    PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang mempunyai konsep pola hokum-hukum dalam tatanan social yang sangat disiplin serta sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlaq baik yang bersifat individu ataupun kolektif (kelompok) social.
Bahkan tidak disangka lagi bahwa proses kehadiran ilmu-ilmu tak pelak banyak kalangan tokoh-tokoh pemikir mengatakan ilmu pengetahuan berakar dari dunia Islam atau al-Quran. Namun dunia begitu luas dan tuntutan zaman sedikit demi sedikit mulai menjalar yang dikenal dengan dunia klasic ke modern, yang menurut banyak golongan manusia yang notabene tidak lagi memproyeksikan dunia Islam sebagai kaum yang modern sehingga terjjjaaadilah perpecahan kiblat ilmu pengetahuan.
Dunia barat dan timur, dua kiblat ilmu pengetahuan inilah yang pada saat ini menjadi sebuah perbedaan yang cukup emosional. Dengan adanya kategori inilah yang kemudian banyak tokoh-tokoh mulai menfilter konsep pemikiran mereka dengan mencoba mengikuti salah satu akar ilmu pengetahuan.

B.     Biografi al-Jabiri
Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.
Jabiri muda merupakan seorang aktvis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.
Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wa al-Turast-nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-’Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek inteletualnya ‘Naqd al-’Aql al-’Arabi (kritik akal Arab).
Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah menerbitkan Takwim al-’Aql al-’Arabi, Bunya al-’Aql-’Arabi, al-A’ql al-Siyasi-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-’Arabi al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-’Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi.[1]

C.     Pemikiran al-Jabiri
Adapun latar belakang yang membuat Jabiri menulis triloginya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah.[2]

a.       Turats dan Modernitas
Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi). Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.
Tradisi, dalam pandangan M. Abied Al-Jabiri adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini. Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi, dalam pandangan Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu.[3] Persoalannya, adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan dengan masa kini. Dalam kaidah NU dikenal kaidah : “al-muhafadhatu ala al-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Artinya, tradisi itu direkonstruksi dengan menginternalisasikan pemikiran-pemikiran kontemporer.
Metodologi yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan tradisi adalah dengan pendekatan “Obyektivisme” (maudlu’iyah) dan “Rasionalitas” (ma’quliyah). Obyektivisme artinya menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan dirinya, dan berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah dekonstruksi, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya, yang dimaksud dengan rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih kotekstual dengan kondisi kekinian kita. Tahap kedua adalah merekonstruksi pemikiran baru dengan menghubungkan antara obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini dilakukan agar didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideologi dalam proyek peradabannya, dengan menyusun tetralogy bukunya yang serius digarap. Dalam bukunya Nahnu wa at-Turats : Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi (Kita dan Warisan Pembacaan Kontemporer terhadap Warisan Filsafat Kita), Al-Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurut Al-Jabiri, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) sering dipakai Al-Jabiry dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.
Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolok dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Al-Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warusan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Yang menarik dalam pemikiran Al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi dengan modernitas adalah keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme dalam pembacaan terhadap teks-teks agama. Pertama, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam filsafat. Semangat yang mendasari rasionalisme pemikiran Ibnu Rusyd adalah sikap kritis dan ilmiah, serta berafiliasi kepada tradisi pemikiran rasionalisme yang menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan asiomatik ini mengulang kembali paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi sistem pengetahuan yang berdasar pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh Aristoteles beberapa abad sebelumnya.
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas pertama dan paling utama adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.
Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi Modernitas adalah sebuah keharusan bagi seorang intelektual selain diri sendiri supaya dia mampu menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul. Sehingga modernitas yang demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya[4]


b.      Epistimologi Nalar arab
Dalam bukunya Takwin al-‘Arabi, al-Jabiri mendefinisikan epistemologi sebagai sejumlah konsep, prinsip dan cara kerja untuk mencari pengetahuan dalam rentang sejarah dan kebudayaan tertentu dengan struktur tak sadar yang melingkupinya. Sementara Nalar Arab dimaknai sebagai al-‘aql al-mukawwan, yakni kumpulan aturan, dan kaidah berpikir yang diberikan oleh budaya Arab terhadap penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-‘aql al-‘arabi (nalar Arab), Al-Jabiri mengajak setiap penbaca untuk menyepakati bahwa al-‘aql yang dimaksud merupakan ungkapan lain dari al-fikr (pemikiran) sebagai adat (perangkat), bukan sebagai intaj (produk).
Sementara nalar Arab itu sendiri menurutnya mempunyai tiga sistem pengetahuan atau epistemologi, yaitu epistem bahasa (bayani) yang berasal dari kebudayaan Arab, epistem gnosis (‘irfani) yang berasal dari tradisi Persia dan Hermetis dan epistem rasionalis (burhani) yang berasal dari Yunani.[5]
Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi(‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.[6]
D.    Kesimpulan
Dari gagasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep pemikiran Al-Jabiri ada dua poin yang dapat kita amalkan
1.      Konsep turats dan modernitas
Dimana adanya modenitas mempunyai peran untuk mengekplorasi tradisi
2.      Epistimologi Nalar Arab
Nalar Arab merupakan sebuah konsep pola berfikir dari al-Jabiri dengan mengandalkan kebudayaan arab yang ditawarkan sebagai kiblat ilmu pengetahuansebagai landasan berpikir.



[1] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 325-326
[2] Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Engah (Bandung: Mizan, 2001), h. 304.
[3] Ibid, h 306
[4] http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=148
[5] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html
[6] http://222.124.207.202/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-2006-imanfadhil-1332&q=Al


Tidak ada komentar:

Posting Komentar