Kamis, 15 Maret 2012

Hasil Konferensi Mekkah


Oleh: Muhammad Makrufi
Hasil konferensi mekkah
(Syed M. Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi)
A.    Pendahuluan
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature ofKnowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.” [1]
Dari kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu. Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’  bagi para pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al- Faruqi tentang islamisasi yang ditulis dalam makalah ini, maka diharapkan para pembaca akan dapat mengambil gambaran secara umum tentang konsep islamisasi yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut dan dapat memberikan penilaian sendiri terhadapnya.
B.     Sekilas Biografi Tokoh
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW.
Secara umum, pendidikan al-Attas bermula di Sukabumi (Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia). Setamat dari situ al-Attas masuk militer di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura. Untuk selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A dan Ph.D, masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada dan University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika alam. Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya, al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah al-Attas berkenalan dengan beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein Nashr (Iran).
Pada tahun 1962, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.” Dan selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.
Al-Attas telah menulis sekitar 26 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania. Berikut adalah karyakaryanya yang telah diterbitkan diantaranya yaitu: Rangkaian Rubaiyat, Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism, The Concept of Education in Islam, A Commentary on the Hujjat al Siddiq of Nur al Din al Raniri, Islam and the Philosophy of Science, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, dan lainnya.[2]
Adapun Ismail R. al-Faruqi lahir di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936. Kemudian dia memperoleh gelar BA-nya pada tahun 1941 di The American University, Beirut Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana dan pada tahun 1952 dia mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard. Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam filsafat Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batin, membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail R. al-Faruqi memulai karir profesionalnya sebagai guru besar sudi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun 1961 sampai 1963. Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke Amerika, al-Faruqi menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago. Pada tahun 1964, al-Faruqi memperoleh posisi permanen penuh pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada tahun 1968 untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini adalah posisi yang didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986. Selain mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.
Selama hidupnya, al-Faruqi telah menulis banyak tulisan, baik di majalah ilmiah maupun populer, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan- gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa karyanya adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A Systematic and Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions, Historical Atlas of the Religions of the World, Sources of  slamic Thought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization of Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan lainnya[3]. Beberapa karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari karyakaryanya tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar biasa. Sehingga sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam menanggapi pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.
Untuk lebih jelas mengenai pemikiran kedua tokoh ini tentang islamisasi ilmu pengetahuan, penulis di sini akan membagi konsep islamisasi dalam pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi melalui tiga garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam islamisasi.
C.    Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[4]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[5]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam. Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancurkan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat sedangkan al-Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam) itu sendiri.
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-Attas sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education". Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi selanjutnya.
D.    Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi. 
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.[6] Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruhmagis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).

Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskankembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[7]
Dari mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangkamemperkaya visi dan perjuangan Islam.
E.     Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:[8]
1.      Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a.    Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.    Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c.    Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d.   Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e.    Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.      Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.       Konsep Agama (ad-din)
b.      Konsep Manusia (al-insan)
c.       Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.      Konsep kearifan (al-hikmah)
e.       Konsep keadilan (al-‘adl)
f.       Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman. Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition). Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dan untuk memulai kedua proses diatas, al-Attas menegaskan bahwa islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an. Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview) atau visi hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran,”  karena dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang harus dipahami oleh akal pikiran. Di sinilah pentingnya pengaruh islamisasi dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran.
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. 
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.
e. Kesatuan umat manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang "terlalu" religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka Islamisasi ilmu, tujuan yang dimaksud adalah:
1.      Penguasaan disiplin ilmu modern.
2.      Penguasaan khazanah arisan Islam
3.      Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4.      Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
5.      Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.
Untuk merealisasikan  tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12 langkah yang harus ditempuh terlebih dahulu. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Penguasaan disiplin ilmu modern: prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2.      Survei disiplin ilmu
3.      Penguasaan khazanah Islam: ontologi
4.      Penguasaan khazanah ilmiah Islam: analisis
5.      Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6.      Penilaian secara kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya di masa kini
7.      Penilaian secara kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini
8.      Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam
9.      Survei permasalahan yang dihadapi manusia
10.  Analisis dan sintesis kreatif
11.  Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam
12.  Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan.

F.     Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua, jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus diislamisasikan.
Walaupun cukup banyak persamaan yang terdapat di antara keduanya, dalam beberapa hal, secara prinsip, mereka berbeda. Untuk mensukseskan proyek Islamisasi, al-Attas lebih menekankan kepada subjek daripada ilmu, yaitu manusia, dengan melakukan pembersihan jiwa dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga dalam proses Islamisasi ilmu tersebut dengan sendirinya akan terjadi transformasi pribadi serta memiliki akal dan rohani yang telah menjadi Islam secara kaffah. Sedangkan al-Faruqi lebih menekankan pada objek Islamisasi yaitu disiplin ilmu itu sendiri. Hal ini mungkin saja menimbulkan masalah, khususnya ketika berusaha untuk merelevansikan Islam terhadap sains modern, karena bisa saja yang terjadi hanyalah proses labelisasi atau ayatisasi semata.
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden). Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu tauhid. Konsep ilmu menurut mereka harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.



[1] http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=794:islamisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi&catid=31:pendidikan-islam&Itemid=96
[2] Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), p. 271-272

[3] Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani,2006), p. 209
[4] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), p. 338
[5] ibid
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-7), p. 90

[7] Ibid
[8] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-7), p. 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar