Makrufi
Muhammad
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM
NURUL JADID
HERMENEUTIKA DAN
KAJIAN AL-QUR’AN
A. PENDAHULUAN
Makalah ini membahas karya Nasr Hamid Abu Zayd tentang
pendekatan digunakan dalam memahami Al – Qur’an. Yang menjadi kajian utama
adalah karyanya yang berjudul ‘Mafhum An-Nash Dirasah Fi Ulum Al Qur’an’
yang diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyin
dengan judul “ Tekstualitas Al-Qur’an : Kritik Terhadap Al – Qur’an “. Hal ini menarik untuk dibahas dengan beberapa alasan,
:
1. Cara baru
yang digunakan Abu Zayd dalam mengkaji
Al – Qur’an sebagai kitab suci, yaitu dengan memakai metode hermeneutika. [3])
2. Cara baru yang digunakan Abu Zayd telah
melahirkan kontroversi dikalangan umat
islam, dan pengaruh terhadap atmosfer intelektual muslim , termasuk di Indonesia .[4])
3. Kontrovesi
tersebut telah melahirkan tuduhan, yang pada mulanya pemikiran pada wilayah Akademik
beralih wilayah Teologis.[5])
Cara
baru yang digunakan oleh Abu Zayd memang
tidak lazim jika dilihat dari tradisi (ilmu-ilmu Al – Qur’an ) yang telah
berlaku. Sebab metode yang ia gunakan ini merupakan adopsi dari wilayah luar
islam yang digunakan sebagai alat untuk memahami kitab yang “bukan” islam [6])
. Ketidak laziman itu yang mengakibatkan Abu Zayd diperlakukan tidak lazim dalam kalangan Islam di negaranya sendiri maupun di luar. Sampai
akhirnya ia sendiri mengalami
penderitaan relejius, yakni pemurtadan. Kata toleransi menjadi mahal
bagi Abu Zayd . Sebab kesadaran ilmiyah yang ia gulirkan justru menyebabkan ia
menjadi korban dan menderita secara relejius.
Makalah
ini dibangun dengan sistematika sebagai berikut :
1.
Secara ontologi, makalah ini hendak
menganalisa tentang hakikat hermeneutika
sebagai sebuah metode filsafat dan
metode tafsir
2.
Secara epistomologi , makalah ini hendak mengungkap
tetang “kerja” Abu Zayd menerapkan hermeneutika dalam kajian Al – Qur’an
3.
Penulis makalah hendak melihat sisi kebermaknaan dari hermeneutika ketika diterapkan dalam
kajian Al – Qur’an .
Untuk mamantapkan arah pikiran, masalah dirumuskan
sebagai berikut :
1.
Apa dan bagaimana hakikat hermeneutika sebagai sebuah metode
filsafat dan tafsir
2.
Bagaimana Abu Zayd menerapkan metode
hermeneutika dalam kajian Al –Qur’an.
B. BIOGRAFI NASR HAMID ABU ZAYD
Gambaran
riwayat hidup Nasr Abu Zayd sebagaimana diungkapkan oleh Henri Shalahuddin
sebagai berikut :
“ Abu Zayd lahir pada tanggal 10 Juli 1943 di Quhafa, Tanta
Mesir. Pada usia 8 tahun dia sudah
berhasil menghafal Al – Qur’an 30 Juz seperti kebanyakan anak-anak muslim
dinegaranya . Pendidikan tingginya, mulai dari strata satu,dua dan tiga dalam jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo dengan predikat highst
honours … ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980) , saat
memperoleh beasiswa untuk penelitian doktornya di Institut Midle Eastren
Studies, Universitas Pensylvania,Philadelphia, USA. Di universitas ini dia mempelajari Folklore dan
metodologi kajian lapangan ( fieldwork).
Pada tahun 1992 Abu Zayd menikah dengan Dr. Ibtihal Yunis
pada saat usianya menginjak 49 tahun .
Kemudian ditahun yang sama dia
mengajukan karya-karya untuk
dipromosikan mendapatkan gelar professor
penuh fakultas sastra Universitas Kairo. Diantara sejumlah karyanya
yang diajukan adalah Naqdu Al Khitab
Al-Dini yang diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit didunia
islam. Namun ditahun itu juga dimulailah “kasus Abu Zayd” dipersidangan yang
berakir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada
tahun 1995.
Dalam putusan di
pengadilan , kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh Abu Zayd [7])
disimpulkan dengan istilah “ 10 DOSA BESAR
ABU ZAYD : ABU ZAYD’S TEN BIG SIN OR MISTAKES ”, sebagai berikut :
- Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam Al Qur’an seperti ‘Arsy , Malaikat, Syaitan, Jin, Surga dan Neraka adala ‘MITOS BELAKA’.
- Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘Prodak Budaya’ (muntaj tsaqofi) dan karenanya mengingkari status azali al Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam Al Lawh al Mahfudz.
- Berpendapat dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah ‘teks linguistik’ (nashsh lughawi ) ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al Qur’an adalah karangan beliau.
- Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al Qur’an ( ‘Ulum al Qur’an ) adalah tradisi reaktioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah faktor penyebab kemuduran Umat Islam.
- Berpendapat dan mengatakan bahwa Iman kepada perkara-perkara ghoib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
- Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah Agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
- Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al Qur’an yang ada merupakan versi ‘Quraiy’ dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Qurays.
- Mengingkari otentisitas Rasulullah SAW.
- Mengingkari dan mengajak orang keluar dari dari otoritas teks-teks Agama (maksudnya : al Qur’an dan Hadist)
- Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks Agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
Sehingga karya-karyanya dinilai kurang bermutu dan promosinya pun ditolak bahkan dinyatakan
menyimpang dan merusak karena
isinya melecehkan ajaran Islam,
menghujat Rasulullah SAW., menodai Al-Qur’an
dan menghina ulama’ salaf. Profesor ‘Abdul Sabur Shahin’, dalam
khotbahnya di Masjid “Amru bin “Ash menyatakan bahwa Abu Zayd adalah murtad.
Setelah mengaku adanya
ancaman mati dari berbagai pihak , pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan
istrinya memutuskan untuk hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.
Menariknya justru di negeri Belanda inilah
Abu Zayd justru mendapatkan sambutan hangat dan perlakukan istimewa dan dihormati
sebagai ilmuwan besar dalam bidang Studi Al Qur’an , dianugrahi gelar Profesor dibidang bahasa Arab dan Studi islam dari Leiden
University, sebuah Universitas
kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di
Amsterdam Selatan.
Saat ini dia menduduki “kursi
Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrech Belanda. Selain itu
juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di
Leiden dan aktif terlibat dalam proyak riset tentang
hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai
ktitik cultural , bekerja pada team “ Islam dan Modernitas” pada tahun 2005, dia menerima anugrah “ The
Ibu Rushd Prize Of Fredoom Thought’, sebuah penghargaan atas usahanya mengkapanyakan ‘ Kebebasan berfikir ‘ dari Mesir.
Dari sinilah dia justru berkesempatan mendidik sarjana dan dosen dari Indonesia .
Kini sejumlah muridnya telah menempati pos- pos penting di perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Disamping itu pemikirannya pun telah
banyak menarik perhatian dan bahkan diajarkan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia ….
“ .[8])
Biografi Abu Zaid
memberi gambaran kepada kita bahwa
pemikiran yang ia hasilkan memiliki relevansi dengan karya – karyanya. Hal ini
bisa kita lihat dalam karya-karyanya , yang secara umum , menyorot tentang studi Al Qur’an Karya –karya yang
dihasilkan Abu Zaid, dapatlah dipetakan
sebagai berikut :
1. Karya-karya
yang bertema Studi Al Qur’an
1. Rasionalisme dalam Tafsir : Studi Konsep Metafor menurut Mu’tazilah :
Al Ittijah al-‘aqliyah fit Tafsir : Dirosah fi mafhum al majaz ‘inda al
Mu’tazilah, Bairut, 1982.
2. Filsafat Hermenutika
: Studi Hermeneutiika al Qur’an menurut
Muhyidin ibn ‘Arabi ( Falsafat al Ta’wil al Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi,
Bairut, 1983.)
3. Konsep Teks : Studi
Ulumul Qur’an ( Mafhum An Nashsh : Dirosah
fi ulumul Qur’an, Cairo, 1987 )
4. Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutika,(
Isykaliyyat al Qiro’ah wa Aliyyat at Ta’wil, Cairo, 1992 )
5. Kritik Wacana
Agama ( Naqd al-khitab ad diniy, 1992 )
6. Imam Syafi’I dan
Peletakkan Dasar Idiologi Tengah , ( al Imam asy syafi’I wa Ta’sis Aidulujiyyat
al wasathiyyah, Cairo
1992.
7. Al Ittijah Al
‘Aqli fi Al-Attafsir : Dirosah fi Qodiyat
al Majas fi al Qur’an “ inda
Mu’tazilah ( Tren rasional dalam penafsiran : kajian dalam masalah metafora dalam al Qur’an menurut Mu’tazilah
).
8. Falsafah al’Takwil
: Dirosah fi al Ta’wil inda
Muhyiddin ibnu ‘Arabi ( Filsafat
Hermeneutika : Kajian Hermeneutika dalam
al – Qur’an Ibnu ‘Arabi ).
9. ‘Ilmi Al-‘Alamat ( Sistem Isyarat )
10. Retinhking the Qur’an : Toward Humanistics
Hermeneutics
2. Karya yang bertemakan
tentang wacana kemodernan , kajian tokoh klasik dan politik
yaitu :
1. Imam Al-Shafi’I wa Ta’sis Al- Aydulujiya al-Wasitiyah
2. Naqdu Al-Kitab Al-Din ( Kritik wacana keagamaan )
3. Al Mar’ah fi Khitab al Azmah ( Wanita dalam wacana
krisis )
4. Al- Tafkir fi zamani al tafkir didu al jahli wa al zaif wa al kharofat (
Pemikiran didalam masa pengafiran melawan kebodohan dan khufarod )
5. Al Khilafah wa Sultah al Umah ( Khilafah dan
penguasah Umat )
6. An Nass wa Sulton wa al Hakikah : Irodatu al Ma’rifah
wa Irodatun al Haymanah ( Teks
kekuasaan, relaita : kelendak ilmu pengetahuan dan Hegemonia kekuasaan ).
7. Dawairul Khouf :
Qiro’ah fi Khitabi al Ma’a ( lingkaran ketakutan : pembacaan wacana wanita
)
8. Al khitab wa al Ta’wil ( Wacana dan hermeneutika )
9. Hakadza Takallama ibnu ‘Arobiy ( seperti
inilah ibnu ‘Arobi berbicara )
10.Voice of an exile
( Suara dari pengasingan ) [9]
Ditambah beberapa artikel dalam
bahasa Inggris yang melengkapi pengembaraan
intelektual Abu Zayd dalam bidang keilmuan keislaman dan humaniora.[10])
Dan tidak bisa dipisahkan pengembaraan intelektualnya dengan kedekatannya
terhadap hermeneutika.
Namun demikian
yang terpenting dalam memahami
intelektualitas Abu Zayd dalam keseluruhan karyanya adalah keinginan nalar
akademik relejinya untuk membangun ‘kesadaran
ilmiyah’[11])
bahwa agama islam harus difahami sebagai suatu yang tidak sekedar normatif
tetapi sesuatu yang terbuka untuk
ditelaah secara ilmiah. Terutama masalah tradisi yang tidak perlu dipuja-puja
seolah-olah terlindungi oleh dinding anti kritik (status quo) dan menutup
adanya kemungkinan berijtihad.
C.
HERMENEUTIKA, METODE TAFSIR
Secara etimologi, kata
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
“menafsirkan “. Maka kata benda hermeneia secara harfiyah dapat diartikan sebagai “penafsiran”
atau Interpretasi[12])
. Jika dikaitkan dengan cerita Hermes sebagai simbol seorang duta penerima
pesan yang harus mampu menginterprestasikan
pesan yang ia terima dari dewa Jupiter maka hermeneutic pada akhirnya
diartikan sebagai “ proses mengubah sesuatu situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti.[13])
Dalam wilayah yang lebih aplikatif pada dasarnya hermeneutika berhubungan
dengan bahasa[14]).
Bahasa merupakan media perantara
komunikasi manusia . pada hakikatnya bahasa dianggap sebagai ‘ suatu sistem tanda yang menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan yang membentuk tatabahasanya, yakni sebagai kode murni
atau system komunikasi, atau sebagai seperangkat pola tingka laku yang telah ditransmisikan secara kultural dan dipakai oleh sekelompok
individu, yakni kode sebagai bagian dari kebudayaan ‘ [15]).
Bahasa muncul dari pengalaman mental yang terproduksi dalam fikiran manusia yang kaya akan warna, imajinasi dan khayalan.
Namun ketika produk dalam fikiran ini tertuang dalam bentuk
bahasa lisan berupa ungkapan akan mengalami penyempitan atau pengkerutan. Lebih
menyempit lagi apabila apa yang
terproduksi dalam fikiran ini tertuang
dalam bentuk bahasa tulis berupa
kata-kata[16]).
Penyempitan yang terjadi dalam bahasa
manusia tersebut menghasilkan suatu
produk yang tereduksi, berbeda-beda dan
bahkan tidak lengkap bentuk
pengungkapannya dalam wilayah komunikasi, dibandingkan dengan proses
yang terjadi dalam fikiran, sehingga sangat memungkinkan terjadi kesalahfahaman , kekurangfahaman oleh penerima informasi ketika menerimanya
dari pemberi informasi. Lebih parah lagi apabila kekeliruan pemahaman ,
penerima informasi disampaikan kepada
orang ketiga yang tidak tahun sama sekali proses dialog. Maka muncullah ‘lingkaran
kesalahfaman ‘ dalam komunikasi.
Pada hakekatnya, komuninasi bukan hanya
terbatas antara dua individu yang berdialog. Setiap orang yang membaca apa yang
ada disekelilingnya sebenarnya tanpa sadar telah melakukan dialog . dari sudut
semiologi, apapun yang kita jumpai disekeliling kita adalah teks yang bisa kita
baca dan tafsirkan[17]).
Teks adalah sebuah tanda atau symbul ( icon). Tanda sekaligus juga memeberi
tanda dari sesuatu yang ditandai ( pesan
yang tersimpan) ataupun pencipta tanda. Dalam hal ini, timbul pertanyaan apa
fungsi dari tanda tersebut ? Apa peran
serta maknanya ? tanda dalam hati ini dapat
difungsikan pada dua sisi yang berbeda
perannya. Satu sisi, tanda berperan sebagai subyek ketika ia
menyampaikan suatu pesan kepada orang yang membacanya. Satu sisi lain,
ketika tanda dibaca maka tanda berperan sebagai obyek baca yang difahami
maksud pesannya. Dengan demikian
tanda memiliki peran ganda dalam aktifitas
dialog yakni sebagai subyek sekaligus sebagai obyek. Dan ketika manusia membaca
setiap tanda, pada hakikatnya dia telah melakukan proses penafsiran.
Penafsiran bukan perkara sederhana, tetapi merupakan aktifitas
komplek yang melibatkan potensi fisik
dan mental. Dalam aktifitas ini sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menafsirkan.
Adanya perbedaan bahasa yang digunakan pada setiap masyarakat, keikutsertaan
emosional yang menyertai ungkapan dalam
sebuah bahasa, juga merupakan kendala penafsiran, sebab ungkapan yang sama
bentuknya, bisa berbeda maksudnya. Contoh, orang ‘ mengaduh’ bisa juga
ditafsirkan karena ia sakit. Atau bermaksud menyayangkan sesuatu terjadi pada
anak kecil yang berbuat salah, jika kata ‘aduh’ diungkapkan oleh seorang ibu.
Begitu juga senyum bisa berbeda-beda maksudnya. Orang terseyum dapat difatsirkan
karena seseorang sedang merasa senang,
menghina atau bisa jadi untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan salahnya.
Perumpamaan lain misalnya kehadiran teks kitab suci yang hadir sebagai
petunjuk umat manusia, juga merupakan sebuah tanda ( ayat Tuhan ) yang jadi obyek
kajian penafsiran. Kitab Al Qur’an misalnya adalah ‘Teks’ sekaligus tanda
firman Tuhan dalam bahasa Arab yang harus difahami umat islam,. Ia hadir
ketengah umat islam secara historis dari Allah SWT. Disampaikan oleh Malaikat
Jibril kepada Muhammad dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Dari kesekian kitab suci yang ada, Al qur’an lah yang lebih tanggu dalam
menjaga keorsinilannya, memberi
tantangan kepada umat islam untuk mengkajinya dan nampaknnya tidak ada kitab
suci setangguh dia. Al – Qur’an bagaikan magnet yang menarik setiap orang
untuk mengkajinya tetapi sekaligus bagaikan ledakan yang menebarkan berbagai karya-karya dari hasil pembacaan
terhadap dirinya. Terlepas dari kelebihan tersebut apakah pemahaman terhadap pesan-pesan tuhan
sudah tepat sasaran sesuai dengan maksud
Tuhan atau bahkan pemahaman terhadap al-Quran menjauh dari maksud sebenarnya dari irodah –maqosid Allah sang pemilik kitab suci ini ? ini merupakan masalah
penafsiran dan lebih khusus masalah hermeneutika.
Berangkat dari permasalahan dalam dialog antar manusia atau dialog antara
manusia dengan tanda-tanda, ataupun keberadaan al Qur’an sebagai
sebuah teks suci dan pesan dari Allah , hermeneutika dijadikan sebagai
tren baru dalam berdialog dengan kitab suci. Dan nampaknya Abu Zayd memahami
bahwa al Qur’an perlu didekati dengan
hermeneutika[18]),
karena sesuai sifat hermeneutika, ia menganggap al Qur’an hadir di tengah
masyarakat tidak lepas dari realitas masyarakat Arab waktu itu sebagai seting
sosial yang melatar belakangi al Qur’an ‘harus’
turun . dalam hal ini al Qur’an turun
kebumi satu sisi semacam ‘dipaksa turun oleh relaitas masyarakat Makkah’, dan pada sisi lain ‘ menghendaki
turun ‘ untuk dilihat sebagai sebuah tanda yang hendak mengubah realitas
masyarakat yang telah rusak.
Al -
Qur’an sebagai kitab petunjuk ( hudan ) memiliki posisi sentral dalam
kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan
perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu
dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah
umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun
NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan)
memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan
bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas
abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi
Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh
dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu
Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. (Tekstualitas Al-Qur’an, 2000) Hal
ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20
tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu,
perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan
kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang
tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih
sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang
dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan
Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan
kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus- menerus melalui
penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang
telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang
sangat luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal
ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun
waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha
mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat universal itu.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks
Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap
usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik
yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu
digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran
teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis
problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan
komprehensif.
Tawaran Hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi
sangat relevan kita pakai dalam memahami pesan Al-Qur’an agar subtilitas
inttelegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas ecsplicandi (ketepatan
penjabaran) dari pesan Allah bisa ditelusuri secara komprehensif. Maksudnya,
pesan Allah yang diturunkan pada teks al-Qur’an melalui Nabi Muhammad itu tidak
hanya kita pahami secara tekstual, juga bisa kita pahami secara kontekstual dan
menyeluruh dengan tidak membatasi diri pada teks dan konteks ketika Al-Qur’an
turun. Maka, teks Al-Qur’an beserta yang melingkupinya dapat digunakan agar selaras
dan cocok dengan kondisi ruang, waktu, dan tempat di mana kita berada dan
hidup. Diskursus hermeneutika tidak bisa kita lepaskan dari bahasa, karena
problem hermeneutika adalah problem bahasa. Karena itu, dalam memahami teks
Al-Qur’an, disamping harus memahami kaidah tata bahasa, juga mengandaikan
suasana psikologis dan sosio historis (wacana) yang teks tersebut. Atau dengan
kata lain, istilah teknis yang diciptakan Ferdinand de Saussure di atas
–seorang ahli bahasa dari Swis adalah hubungan yang dialektis antara teks dan
wacana.
Sebuah penafsiran dan usaha pemahaman terhadap
Al-Qur’an jika memakai metode hermeneutika, selalu terdapat tiga faktor yang
senantiasa dipertimbangkan, yaitu dunia teks, dunia pengarang, dan dunia
pembaca. Ketiga komponen itu memiliki konteks sendiri-sendiri, sehingga jika
memahami teks Al-Qur’an hanya bertumpu pada satu dimensi tanpa mempertimbangkan
dimensi yang lainnya, pemahaman yang diperoleh tidak akan luas dan
miskin.
Dalam tradisi hermeneutika, terutama metode yang diperkenalkan
oleh Gadamer, akan terlihat jelas bahwa dalam setiap pemahaman teks, tidak
terkecuali pada teks Al-Qur’an, unsur subyektivitas penafsir tidak mungkin
disingkirkan. Bahkan secara ekstrem dikatakan bahwa sebuah teks akan berbunyi
dan hidup ketika dipahami, diperhatikan, dan diajak dialog oleh pembacanya.
Dalam proses dialog, berarti pihak pembaca memiliki ruang kebebasan dan
otonomi. Munculnya kitab tafsir Al-Qur’an yang berjilid-jilid yang masih dan
akan terus berkembang menunjukkan bahwa pemahaman ulama’ pada Al-Qur’an dan
tradisi kenabian tidak pernah final.
Di masa modern ini, ada dua mufassir terkemuka yang
menggunakan metode hermeneutika yaitu Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Fazlur
Rahman meskipun belum secara langsung menggunakan hermeneutika sebagai
metodetafsirnya, namun ia telah memberikan bobot besar pada kontekstualitas.
Belum tuntasnya penggunaan hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an itu justru
merupakan kelemahan Rahman dalam penafsiran Al-Qur’an untuk mencapai tujuan
dasarnya, yaitu mengedepankan etika dalam Al-Qur’an. Menurut Rahman, memahami
pesan Al-Qur’an secara adikuat dan efektif, pemahaman secara menyeluruh
terhadap perkembangan kronologisnya, dan bukan pemahaman secara ayat per ayat,
merupakan sebuah kemutlakan.
D.PENERAPAN
HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL
QUR’AN
Kontroversi penggunaaan
hermeneutika telah terjadi dikalangan umat islam. Tapi bagaimana sebuah
metodologi baru dalam melihat hakikat
ajaran agama dengan cara berbeda
menimbulkan kontroversi itulah yang perlu mendapatkan pemahaman mendalam agar nalar berfikir, baik
pihak yang pro maupun yang kontra, bisa lebih arif dan tidak melontarkan ‘vonis’ yang berat dihadapan Tuhan . oleh karena
itu pada bagian ini penulis
hendaknya mekanisme pemikiran Abu Zyad
ketika mengkaji al Qur’an dengan hermeneiutika, yang tentu saja dengan sikap ‘netral’
sebagai seorang Akademik.
Sebagaimana sifat dari hermeneutika , melihat suatu teks
yang hadir dalam masyarakat tidak lepas dari realitas masyarakat, maka al Qur’an
pun juga dilihat secara demikian. Abu Zayd
menganggap proses turunnya al Qur’an
berkait erat dengan situasi sosial
masyarakat Makkah waktu itu. Berikut ini beberapa hasil thesis yang ia lontarkan dari hasil kajiannya terhadap al Qur’an dengan metode hermeneutika
dan kritikannya terhadap ‘ulum al Qur’an secara sampling saja.
Thesis pertama,
berkaitan dengan proses turunnya wahyu yang diterima oleh nabi Muhammad saw.
Masyarakat Makkah memiliki keyakinan
bahwa seseorang sangat mungkin untuk
berdialog dengan makhluk ghoib, sebagaimana seorang penyair yang dapat
melakukan dialog dengan jinnya yang membacakan sair-sairnya. Demikian juga juru ramal ( dukun ) dapat melihat apa apa yang akan terjadi karena memiliki kemampuan berdialog dengan
jin, sehingga ia bisa mengatakan kepada orang lain sesuatu yang akan terjadi,
terlepas akan terjadi betulan atau tidak. Menurut Abu Zayd kepercayaan
masyarakat inilah yang memungkinkan
konsep wahyu dapat diterima mereka. Fenomena wahyu bertumpu pada konsep yang
mengakar dalam budaya. Yang membedakan hanyalah, kalau ramalan seorang
dukun diperinta oleh Jin , sedangakn Wahyu
diterima oleh seorang Nabi diperantai oleh Malaikat. Dan keduanya ( Jin dan
Malaikat ) sama-sama makhluk ghoib yang
dipercayai oleh orang Arab[19]).
Dalam hal ini bisa dikatakan Abu Zayd
melihat pemahaman yang diperoleh oleh masyarakat Mekkah tentang wahyu berdasarkan hermeneutika Hans-Geoge Gadamer.
Menurut Gadamer proses mengerti didapat jika sebelumnya manusia memiliki pra
pengertian [20]).
Thesis kedua, berkaitan
dengan keberadaan penerima wahyu pertama yaitu, Nabi Muhammad. Menurut Abu
Zayd keberadaan Nabi Muhammad sebagai
nabi penerima wahyu pada hakikatnya tidak berbeda dari beberapa orang yang
mencoba mencari kebenaran ajaran yang sesunguhnya setelah melihat realitas
kebobrokan perilaku masyarakatnya. Gerakan pemikiran ini menurut Abu Zayd
adalah meanstreem dari upaya
mencari Agama yang hanif. Mereka
mengembara dalam melihat ajaran agama.
Terutama Agama para Ahli Kitab. Mereka diantaranya adalah Waraqah Bin
Naufal, Abdullah bin Jahsy, Usman bin al Khuwairis, Zaid bin harist bin naufal.
Agama yang hanif pada
kenyataannya adalah agama Ibrahimiy.
Pencarian agama Ibrahimiy ini
pada hakekatnya proses pencarian
identitas bangsa Arab yang terancam oleh kekuatan -kekuatan dari luar yakni kekuatan dari Byzantium dari barat dan utara, kekuasaan Abraha
dari arah selatan di Yaman dan kekuatan Kisra penguasa kerajaan Persia
di belah timur. Diantara orang-orang
yang berada dalam meanstreem gerakan keagamaan itu, Rasulullah
Muhamadlah yang dipilih oleh Tuhan untuk
menjadi penyampai ajaran agama hanif yakni Agama ibrahimy. Dengan demikian
pengangkatan Muhammad sebagai Nabi bukan
hal yang terjadi tanpa sebab sosial, namun bersambung dengan realitas
sosial dimana ia hidup dan berkehendak
terhadap kekuatan perubahan, sekaligus menjadi jawaban baginya tentang
kebenaran yang ia cari [21])
. dalam hal ini Abu Zayd dapat dikatakan
merujuk pada hermeneutika Wilhelm Dilthey bahwa pengalaman didapat jika manusia bisa mengkontruksikan apa
yang ia peroleh dalam realitas sosial melalui tiga kategori yaitu nilai, maksud
dan makna[22]).
Thesis Ketiga kriteria- kreteria perbedaan
antara surat Makkiyah
dengan Madaniyah. Menurut Abu Zayd kriteria perbedaan antara Makkiy dan Madany yang dijelaskan oleh ulama’ salaf tidak kuat dan banyak
dijumpai kelemahan yakni perbedaan yang mereka buat hanya berdasarkan
tempat turunnya surat saja [23]).
karena, menurut Abu Zayd ayat yang turun setelah hijrah ada juga yang
diturunkan di Makkah, dan lebih bernuansa kerisalahan dan hukum. Dan juga
sebaliknya. Menurut Abu Zayd perbedaan seharusnya didasarkan pada realitas
dimana surat
itu turun. Perbedaan Makky dan Madaniy adalah berdasarkan kondisi sosial masyarakat sebagai sasaran wahyu. Surat-surat Makky
bersifat Indzar (peringatan) sedangkan Madaniy
bersifat risalah (pesan atau
ajaran ). Makky bersifat indzar
sebab jika dilihat kondisi sosial masyarakat Makkah yang rusak secara moral dan
akidah membutuhkan wahyu yang bersifat
memberi peringatan dan sekaligus ancaman
terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan. Sedangakan Madaniy lebih bersifat risalah karena Muhammad setelah hijrah ke Madinah
perlu menata kondisi sosial masyarakat
yang sudah bisa dikendalikan dalam sebuah system struktur masyarakat Madinah[24]).
Pemahaman Abu Zayd seperti ini dapat difahami dalam hubungannya dengan
hermeneutika F.D.E Scheleirmacher yakni ‘ bahasa’ (baca:Teks ) lahir tidak
lepas dari dua unsur waktu dan tempat [25]).
Thesis Keempat , berkaitan dengan konsep Asbab An-Nuzul .
tahap awal Abu Zayd mengkritik ulama’-ulama’ salaf yang mengatakan bahwa sebab-sebab turunnya wahyu didasarkan pada sanad dalam periwayatan
hadist dari sahabat tentang mengapa
surat-surat al Qur’an turun.
Apabila konsep ini diterapkan maka mereka pada hakikatnya terjebak dalam faktor eksternal saja. Belum
lagi persoalan bahwa tidak memungkinkan
setiap surat
diketahui secara keseluruhan
sebab-sebab turunnya wahyu oleh
para sahabat, sebagai mana prasyarat yang mereka buat bahwa Hadist menerangkan itu haruslan mutawatir.
Faktor tempat, kelupaan pada diri
sahabat-sahabat dan juga faktor ‘idelogi’
juga sangat berperan dalam membentuk keterangan yang sangat mungkin
menyimpang dan tidak sesuai sama sekali dengan faktor hakiki turunnya sebuah surat . Menurut Abu
Zayd dalam hal ini ulama konteporer justru punya kesempatan untuk menikmati hak
berjihad dan mentarjih riwayat-riwayat yang berbeda dengan cara yang lebih signifikan. Asbab tidak mesti didasarkan
pada faktor eksternal saja tetapi juga harus diungkap maksud dari dalam teks surat itu sendiri, yakni dari
dalam. Pengungkapan tidak mesti berjalan dalam satu arah tetapi dari luar
kedalam, atau dari dalam keluar , tetapi harus berjalan dalam gerak ulang-alik
secara cepat antara dalam dan luar’[26]).
Dalam konteks ini Abu Zayd lebih mengacu
pada hubungan ‘batin bahasa’ dengan realitas eksternal. Merupakan gabungan dari
hermeneutika dilthey-gadamer dengan Scheirmacher.
Adapun
konsep Naskh dan Mansukh merupakan perkara yang tidak dapat dipisahkan
dari konsep Asbab An Nuzul. Sebab
suatu naskh terjadi juga
berkaitan dengan sebab turunnya ayat tertentu. Pembatalan sebuah hukum
syara’ ataupun penangguhannya berkaiatan
dengan sebab sebabnya[27]).
Menurut Abu Zayd, Al Qur’an sebagai teks memiliki
mekanisme sendiri. Sebagai wujud teks dalam masa Al Qur’an turun, keberadaan
teks mendominasi eksistensi budaya. Dalam situasi semacam ini, tentu saja untuk
mewujudkan sebuah ‘ daya perubah yang melemahkan’ tidak dapat
diwujudkan jika daya itu dapat difahami
oleh nalar masyarakat. Merubah sebuah realita
sosial yang rusak, mengharuskan al Qur’an ‘menghancurkan’
dominasi budaya Arab, yakni budaya teks, kelebihan al Qur’an inilah yang
menempatkannya , dari posisi pendatang baru, selanjutnya menjadi ‘imam’ dari teks -teks (syair puisi saj’). Teks-teks
yang lain bukan terhancurkan musnah-menghilang namun beruba menjadi ‘peng-amien’
apa yang dikatakan al Qur’an. Dalam bentuknya sebagai teks, al Qur’an bukan
puisi, syair maupun saj’. Al qur’an adalah al Qur’an sebagai wahyu. Inilah
konsep I’jaz al Qur’an[28]).
I’jaz al Qur’an memiliki kekhasan sendiri berbeda dengan kemu’jizatan yang
dibawah oleh nabi-nabi selain Muhammad
SAW. Karena yang harus dikalahkan oleh al Qur’an adalah apa yang diunggulkan
masyarakat ‘Arab. Yakni budaya teks dan
bukannya keajaiban sebuah tongkat milik nabi Musa As. Kepandaian mengobati
orang sakit seperti nabi Isa As. atau tidak terbakar sebagaimana Nabi Ibrahim
dibakar oleh raja Namrud. Walaupun harus diakui juga dalam mengalahkan orang-orang
Mekkah Mu’jizat yang sifatnya aksidental
juga diberikan pada Nabi Muhammad.
Dari hasil pemikiran Abu Zayd
, secara metodologi dapat diringkas
bahwa hakikat hermeneutika ketika diterapkan untuk mengkaji al Qur’an
sebagai sebuah teks memiliki dasar
budaya yang kuat pada masyarakat Mekkah sebagai penerima wahyu pertama.
Indikatornya[29])
adalah :
- Al Qur’an sebagai wahyu dapat diterima oleh orang ‘Arab karena mereka sebelumnya telah memiliki konsep ‘wahyu’ dan kepercayaan bahwa seseorang mampu berdialog dengan ‘makhluk ghoib’.
- Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, pada dasarnya mengakar pada pergaulan ditengah masyarakatnya bukan orang yang memisahkan diri yang lainnya. Namun, demikian beliau terjaga dari perilaku masyarakat Makkah yang rusak. Dalam melihat realitas semacam itulah Nabi sebagai bagian masyarakat melihat sisi yang ‘harus’ dirubah.
- Proses pewahyuan kepada Nabi Nuhammad haruslah difahami sebagai interaksi ‘Teks’ dengan realitas masyarakat. Konsep Makky dan Madani tidak cukup dikatagorikan berdasarkan masa sebelum dan sesudah hijrah.
- Sebab sebab turunnya Al Qur’an tidak cukup hanya berdasarkan kronologis periwayatan berdasarkan faktor eksternal saja namun harus ada keterkaitan antara ‘dalam’ dan ‘luar’ teks secara ulang-alik.
- Keberadaan al Qur’an sebagai teks dalam budaya yang terdominasi tradisi teks juga harus difahami sebagai teks yang sekaligus berbeda dengan teks-teks yang lain. Al Qur’an adalah dirinya sendiri, meskipun ia juga teks. Sedangkan tek-teks yang lain telah terkalahkan, namun bukan termusnahkan telah menjadi semacam pendukung, penguat keberadaan teks al Qur’an. Teks-teks dalam bentuk syair, puisi, saj’ telah merobah diri dihadapan al Qur’an. Ketika teks teks itu hendak menetapkan diri sebagai bagian dari tradisi lama sebelum lama sebelum al Qur’an turun maka teks-teks itu mengalami kehancuran [30]).
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rohman Jalaluddin As-Sayuthi, Al – Itqon fi ‘Ulum Al-Qur’an
, Juz I, Dar Al Fikr , Beirut ,
tt.
Ahsin
Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Kritik atas Nalar Tafsir Gender,
2004, Safiria Insani Press.
Bahrudin
Muhamad bin Abdillah Az Zarkasyi, Al Burhan fi ‘Ulum Al Qur’an
E.Sumaryono,
Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat, Pustaka Filsafat, Jogjakarta ,TT
Harun
Nasution, Islam ditinjauh dari dari berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta , 1986
Henri
Salahuddin, Al Qur’an Digugat, 2007, AL-QALAM Kelompok Gema Insani , Jakarta
Karl
Bertens, Filsafat Barat Dalam Abd XX, 1981 , Gramedia , Jakarta
Khoirudin
Nasution , Pengantar Studi Islam
, 2004 , TAZZAFA-ACA-de-MIA, Jogjakarta
Komarudin
Hidayat , Memahami Bahasa Agama, Sebagai Kajian Hermeneutic, 1996,
Paramadina Press, Jakarta
Mana’ul
Qothon, Mabahist fi Ulum Al Qur’an , Mansyurat al-Ashr al-Hadist, Riyadh .
Mudjia
Raharjo, DASAR-DASAR HERMENEUTIKA, Antara Intensionalisme & Gadamerian,
Juni 2008 , AR RUZZ MEDIA, Jogjakarta
Nasr
Hamid Abu Zayd, Tertualitas Al Qur’an , Kritik Terhadap Ulum Al Qur’an
(Terjemah) 2005, LkiS , Yogyakarta
Rosiho
Anwar , Ulumul Qur’an , 2006, Pustaka Setia, Bandung
Syukur
Ibrahim, A. Sosiolinguistik, 1995, Usaha Nasional
Team
Penyusun , Kamus besar Bahasa Indonesia, 2005, Jakarta , Balai Pustaka
WWW.Muslim
Delft » Blog Archive » Kisah Intelektual Nasr
Hamid Abu Zayd. htm, Tanggal 3 Desember 2008.
Makalah ini disusun Oleh : Nurdi
[1] Lihat arti ‘telaah kritis’ pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005, hlm,1160 dan hlm. 601 , Telaah :
Penyelidikan, kajian, pemeriksaan, penelitian, sedangkan kritis bersifat lekas tidak percaya, bersifat selalu
berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan atau tajam dalam penganalisisan.
[2] Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir muslim modernis dari Mesir
dan sebagai pengajar di Universitas
Kairo. Lihat pengakuan Nasr Hamid Abu Zayd dalam pengantar bukunya Mafhum An Nasr Dirosah Fi Ulum Al Qur’an , diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyin dengan judul “ Tektualitas Al Qur’an “
diterbitkan oleh LkiS ,tahun 2005,
halaman xv . Selanjutnya disebut Abu Zaid.
[3] Hermeneutika
sebenarnya metode lama yang berasal dari
Yunani dan diangkat sebagai tema aktual
lagi karena dirasa penting pada era
belakangan sebagai sebuah metode filsafat dan pembacaan teks.
[4] Banyak di Indonesia Banyak di Indonesia yang mengidolakan Abu Zaid dengan pendekatan hermeneutikanya.Silahkan
lihat ,Henri Shalahudin , Al Qur’an Digugat” 2007, Al QALAM Kelompok
GEMA INSANI, Jakarta
, Bab III, hlm. 85-114.
[5] Merupakan hal
yang telah mentradisi di dunia ketika
kebebasan intelektual yang berangkat dari kebesaran Akademik tiba-tiba menjadi tabu apabila sudah masuk pada wilayah struktur sosial politik dan berseberangan dengan pemahaman
(tradisi) kegamaan yang telah mapan. Hal
ini mengingatkan kepada kita pada peristiwa
‘Mihnah’ yakni pengujian
keyakinan oleh penguasa Daulah Abbasiyah yang memaksakan doktril Mu’tazilah kepada kalangan masyarakat muslim yang bersebrangan dengan doktrin negara. Lihat Harun Nasution ,
Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Ui Press, Jakarta 1986, C-6. Pada masa konteporer pun
juga terjadi yakni apa yang menimpa F Rahman yang harus keluar dari Pakistan karena atmosfer tidak mendukung kreatifitas intelektualnya, Hal
senada juga terjadi di Indonesia Noercholish Madjid dengan ide sekularisasinya,
sehingga dianggap darahnya halal pada tahun 80 an . Pernyataan Noercholish “ Islam Yes , Partai Islam No “ cukup membuat shock beberapa kalangan pada
masa itu. Munculnya penetangan terhadap
wacana pemikiran islam pada masa era
sekarang juga masih terjadi , apa yang
dihadapi oleh kelompok jaringan islam
liberal yang dimotori oleh Ulil Abshor Abdalah. Orang – orang tersebut dalam kaca mata kaum fundamentalis dianggap
halal daranya ( lihat, Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan
Kritik atas Nalar Tafsir Gender, 2004, Safiria Insania Peress hal. 4-5).
[6] Menurut
beberapa pendapat bahwa
hermeneutika sebelumnya digunakan
untuk memahami kitab Bible, dan dianggap tidak sesuai jika diterapkan
pada Al-Qur’an.
[7] MuslimDelft [blog archive] Kisah Intelektual
Nasr Hamid Abu Zayd,htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[8]Henri
Shalahudin, op cit hlm. 1-4, Henri dalam meriwayatkan biografi Nasr Abu Zaid
berdasarkan otobiografinya Voice of
an Exile, hal. 1 juga Encyclopedia Wikipedia dan Britaniada. Juga
tulisan Abu Zaid, 2003, al-Tafkir fi al-Zaman AL-Tafkir, diddu i-Jahl wa al Zaif
wa I-Kharafah, Maktabah Madbuli, Mesir cetakan II hlm. 21, juga ichwan Moch
Nor,2003, Meretas Kesarjanaan Kritis Al Qur’an, Teori Hermeneotika Nasr Abu
Zaid, Cetakan I, Teraju, Kelompok Mizan, Jakarta, Hlm. 193-194 dan beberapa
keterangan yang diambil dari web.sit. Muslim Delft » Blog Archive » Kisah Intelektual Nasr
Hamid Abu Zayd. htm,Tanggal 3 Desember 2008.
[9] Ibid,
hlm. 5-6
[10] Ibid, hlm 6-7
[11] Tentang
kesadaran ilmiah , oleh Abu Zayd secara eksplisi dikatakan sendiri bahwa setiap
gerakan kebangkitan adalah untuk zamannya dan tidak seharusnya menutup kemungkinan adanya kesadaran ilmiah baru. Gerakan
kebangkitan apabila menetapkan diri sebagai sesuatu yang mapan maka ia telah menjadi konservatif.
Pembaharuan yang dilandasi dasar idiologi tanpa bertumpuh pada kesadaran
ilmiah, tidak kalah bahayanya dengan sikap taklid ( mengikuti secara buta) Lihat Abu Zaid. Tektualitas al Qur’an,
( terj. 2005,LKis, hlm. 11
[12]Mudjia
Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian,
2008, Arruz Media, Jogjakarta,Hlm.27, hal senada E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah
Metode Filsafat, Pustaka Filsafat, Yogjakarta,TT.halm. 23, pengertian
ini.tapi Agak berbeda dengan yang
disampaikan oleh Komarudin Kidayat, menurutnya hermeneutika meruapakan definisi
dari kata ‘Hermes’, seorang dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas penghubung antara sang maha dewa dilangit dan
para manusia di bumi. Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama , sebuah
kajian hermeneutic,1996,Paramadina Press, Jakarta
hlm. 13 lihat juga Karl Bertens, Filafat barat dalam abad XX, 1981 Gramedia ,
Jakarta,225 menurutnya kata hermeneutika (Inggris : hermeneutics ) berasal dari
kata kerja Yunani hermeneo : mengartikan, menginterprestasikan , menafsirkan ,
menterjemahkan.
[13]
Ibid, hlm 24
[14]
Ibid hlm 26 , namun harus
dimengerti bahwa hermeneutika juga
bersifat memahami apa yang hadir pada
masa ‘lalu’,’ terjadi sekarang’ dan ‘masa depan’ jika kita dasarkan pada
katagori yang dibuat oleh Wilhelm dilthey. Atau hermeneutika sebagai ‘seni
berfikir dan berbicara hanya merupakan
aspek luar dari berfikir’, sebagaimana pendapat FDE Schelairmacher atau menurut Hans George bahwa ‘mengerti’
haruslah berangkat dari pengertian
sebelumnya (pra pengertian) hermeneutika bekerja secara maksimal jika
seorang filosof berusaha mengerti berangkat dari pengertian yang telah ia
miliki sebelumnya( untuk lebih lengkapnya baca rujukan foot note makalah ini,
ibid, hlm. 35-128. Karl Berl Bertens, op cit hlm 85-89 dan 224-235.
[15]
Green berg, Essays In Lingusitics, phoenik Books , Cicago, 1957 hlm 1 dalam
Abd. Syukur Ibrahim , Sosioliguistik , Usaha Nasional, 1995 hlm 26. Batasan
yang diberikan oleh grendberg ini bisa difahami bahwa bahasa yang terbentuk
dalam suatu masyarakat menjadi semacam symbol atau tanda yang disepakati dan
diwariskan sehingga warga masyarakat yang menggunakan menjadi menyatu (
terinternalisasi) dan memahami setiap kode atau informasi dengan perantaraan
bahasa berlaku, sekaligus bahasa tersebut menjadi atribut budaya masyarakat
tersebut.
[16]
Sumaryono, op cit, hlm 25
[17]
Komarudin Hidayat, op cit hlm 12
[18]
Perlu difahami bahwa yang
menerapkan hermeneutika dalam mengkaji
al Qur’an sebenarnya bukan hanya Abu Zayt saja.
Para sarjana lain yang menerapkan
hermeneutic diantaranya : Fazlur rahman ( dalam karyanya “Interpleting the Qur’an
“ ), Amin Muhsin Wadud ( Qur’an and Women ), dan masih ada beberapa lagi
yang juga menerapkannya, lihat Dr. Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam
, 2004, TAZZAFA-ACAdeMIA, Yogyajarta,
hlm 82.
[19]
Nasr Hamid Abu Zayd, Tektualitas Al Qur’an, kritik terhadap Ulum Al
Qur’an, tejm, 2005.LkiS. Yogjakarta, C-IV hlm. 32-41. Dalam menerangkan
analisisnya Abu Zayd banyak menukil pendapat
Abdur Rohman Jalaluddin as Suyuti, Al Itqon fi Ulum al Qur’an juz
1, Badrudin Muhamad bin Abdillah az Zarkasy, Al Burhan fi Ulum al Qur’an, juz 1, Abdur Rohman ibnu Kaldun, Muqodimah,
Dar ihya’ al Turast al Arabi, Beirut, Libanon TT.
[20]
Karl bertens, op cit , hlm 226
[21]
Abu Zayd, op cit, hlm 65-85
[22]
Karl bertens, op cit hlm 89
[23]
Mengenahi pendapat para ulama’ tentang definisi Makkiy dan Madaniy lihat Rosiho
Anwar, Ulumul Qur’an ,2006, Pustaka setia, Bandung C-III halm 104.
Rosihan anwar mengetengahkan pendapat Mana’ul Qotton , Mabahis fi Ulum
al Qur’an, mansyurat al Ashr al Hadist, 1973 hlm 61-62. Badrudin Muhamad
bin Abdillah az Zarkasih, Al Burhan fi Ulum al Qur’an juz 1 hlm 187.
Abdur Rahman Jalaludin Asyayuti, Al Itqon fi Ulum al Qur’an, juz 1 Dar Al Fikr, Beirut TT. Hlm 13-14 , namun
demikian Rasihon Anwar juga mengemukakan pendapatnya bahwa pendefenisian para
ulama’ tersebut mengandung kelemahan-kelemahan. Rosiho Anwar , Op cit, hlm. 106
[24]
Abu Zayd , Op cit hlm 88-95
[25]
Sumaryono, op cit hlm. 36
[26]
Ibid, hlm 130-135
[27]
Ibid, hlm 142-145
[28]
Ibid hlm 169-195
[29]
Dengan maksud hanya memberikan sedikit contoh hasil pemikiran Abu Zaid dalam
menerapkan hermeneutika dalam kajian al Qur’an
[30]
Munculnya Nabi palsu, semisal Musailimah Al Kadzab dapat dianggap prototypy
teka lama yang hendak menunjukkan gigi dihadapan teks. Dan hancur dengan
sendirinya di hadapan ke I’jazan Al Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar